Sejarah dan Kisah di Balik Wanita Berkepala Plontos

Sejarah dan Kisah di Balik Wanita Berkepala Plontos

Naviri.Org - Rambut bagi wanita disebut mahkota, sehingga para wanita pun senantiasa menjaga rambutnya agar tetap indah dan menawan. Sebagian wanita bahkan sengaja memanjangkan rambutnya, dengan tujuan terlihat lebih feminin atau lainnya. Namun, di antara banyak wanita yang mati-matian menjaga rambut untuk menjaga kecantikan, ada pula wanita-wanita yang jusru memangkas habis rambut mereka.

Kita tentu masih ingat beberapa waktu lalu, ketika mendiang Julia Perez menggunduli rambutnya hingga plontos, sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama penderita kanker. Begitu pula dengan artis Sukma Ayu, yang pernah melakukan hal serupa. Di luar negeri, artis-artis yang melakukan aksi penggundulan rambut mereka di antaranya adalah Natalie Portman, Kristen Stewart, Anne Hathaway, Britney Spears, dan Cara Delevingne.

Bagi wanita, tentu saja, keputusan menggunduli kepala hingga plontos tentu keputusan penting yang perlu dipikirkan masak-masak. Bagaimana pun, sistem sosial di kebanyakan tempat memandang wanita dengan kepala plontos sebagai sesuatu yang tidak lazim. Karenanya, bagi wanita, pertimbangan stigma sosial sudah pasti tebersit saat ingin mengubah penampilan secara ekstrem dengan kepala plontis.

Di kalangan perempuan Afrika-Amerika pada dekade 1950-an misalnya, kepala dengan rambut superpendek atau botak adalah hal yang patut dicemooh sehingga mereka terpaksa menyembunyikannya atau mengubah gaya rambut tersebut, demikian ditulis Maxine L. Craig (2002) dalam Ain't I a Beauty Queen?: Black Women, Beauty, and the Politics of Race.

Sementara dalam tulisan ilmiah Anthony Synnott (1987), untuk kaum perempuan, rambut termasuk kepingan definisi budaya seputar femininitas, di mana ketiadaannya membuat seseorang dikatakan belum sempurna menjadi perempuan.

Stigma negatif juga lama merundungi perempuan-perempuan botak. Sejak berabad-abad silam, penggundulan kepala menjadi salah satu cara menghukum perempuan yang dianggap melanggar aturan dengan tujuan mempermalukan dirinya.

Belum lagi anggapan yang jamak di masyarakat bahwa perempuan berkepala plontos mengindikasikan penyakit membahayakan semacam kanker yang tengah diidapnya. Tidak cuma penyakit fisik saja yang diidentikkan dengan para perempuan botak, tetapi juga penyakit mental seperti depresi bahkan stigma gila juga disematkan kepada perempuan-perempuan non-arus utama ini.

Dilansir BBC News, setelah membotaki kepalanya, Natalie Portman sempat menyampaikan reaksi-reaksi yang didapatkannya dari publik, “Beberapa akan berpikir saya neo-Nazi atau saya mengidap kanker atau saya seorang lesbian.”

Dalam konteks masyarakat heteronormatif seperti di Indonesia, asosiasi perempuan botak dengan lesbian bukanlah hal yang mudah diterima dan hal ini tentu saja membawa implikasi sosial bagi seseorang yang memutuskan memplontoskan kepala seperti Portman.

Adanya stigmatisasi semacam ini juga tidak terlepas dari bentukan media massa. Selain representasi femininitas di buku-buku fiksi, terpaan iklan-iklan kecantikan serta penggambaran perempuan ideal di film berpartisipasi terhadap cara pandang masyarakat tentang bagaimana mereka harus berpenampilan.

Menyebarnya stigma sosial ini di masyarakat berbagai latar budaya menunjukkan bahwa perempuan sudah semestinya tunduk pada aturan yang tidak diterapkan kepada laki-laki.

Keadaan ini seiring dengan apa yang dikatakan Foucault tentang docile body, yakni tubuh-tubuh patuh yang senantiasa diawasi dan dikoreksi oleh masyarakat di bawah sistem atau budaya patriarki yang dominan. Tubuh disebutkannya tidak pernah berdiri secara benar-benar merdeka dari penghakiman orang, karena tubuh bersifat sosial dan rambut adalah salah satu simbol yang disasar oleh pengoreksian massa tersebut.

Stigma-stigma semacam ini tidak lantas membuat segelintir perempuan mengurungkan niatnya untuk mencukur habis rambut mereka. Sebagian justru memaknainya sebagai hal yang positif, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan yang pernah didapat.

Bagi Britney Spears, aksi menggunduli kepalanya merupakan bentuk pembebasan diri selepas mengalami tekanan dalam hidup rumah tangga dan kariernya. “Kevin meninggalkan saya, dan saya begitu tertekan. Orang-orang mengira saya gila, tetapi tetap saja ada yang menggunduli kepala dari waktu ke waktu. Saya telah melalui banyak hal, tetapi menggunduli kepala hanyalah upaya saya untuk sedikit memberontak, atau merasa bebas, atau meninggalkan hal-hal yang telah terjadi sebelumnya,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Huffingtonpost.

Sementara dari aspek religi, penggundulan kepala perempuan adalah bentuk pelepasan diri dari ikatan-ikatan kenikmatan duniawi. Hal inilah yang dilakukan oleh biksu-biksu Buddha serta diceritakan oleh seorang perempuan bernama Annalise (34) yang mempraktikkan Regla de Ocho atau Santería—ritual agama African-American di Kuba—dalam situs Mic.

Ia menyatakan bahwa praktik menggunduli kepala merupakan proses seremonial yang disebut “menciptakan orang suci”. Secara konsep, seremoni tersebut mengandung makna kelahiran kembali serta membentuk diri spiritual yang lebih kuat dan menggunduli kepala adalah bagian dari simbolisasi kelahiran.

Dengan tetap menggunduli rambut, sebagian perempuan juga sedang menunjukkan suatu simbol agresi terhadap norma sosial. Lirik saja subkultur skinhead yang berkembang di Inggris pada 1960-an. Pilihan untuk memangkas habis rambut yang diambil kelas pekerja di sana menjadi bentuk penentangan terhadap gaya yang mencitrakan kemapanan dan dipandang lebih adiluhung oleh masyarakat konservatif di Inggris.

Masih dengan alasan agresi serupa, bagi kalangan feminis dan orang-orang yang menolak heteronormativitas, pembotakan kepala menjadi penanda bahwa mereka meninggalkan nilai-nilai femininitas lawas yang lebih mengedepankan kesenangan laki-laki. 

Pilihan-pilihan yang diambil sebagian perempuan untuk memangkas habis atau nyaris seluruh rambutnya, adalah bukti bahwa mereka menolak pendefinisian tunggal perempuan oleh sistem masyarakat yang ada. Selama hal tersebut membuat seseorang nyaman dan justru bisa menguatkan dirinya, tidak ada yang salah dengan memilih gaya yang tidak sejalan dengan pandangan mayoritas tersebut.

Mereka sadar bahwa pilihan gaya termasuk menggunduli kepala adalah aksi politis untuk menyatakan bahwa tubuh mereka adalah otoritas mereka sendiri, dan hal ini sejalan dengan ujaran feminis Audre Lorde bahwa hal personal adalah hal yang politis.

Baca juga: Keperawanan Wanita, dari Masa ke Masa

Related

Insight 478586886925301809

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item