Drama Perburuan Para Penggelap Pajak di Dunia

Drama Perburuan Para Penggelap Pajak di Dunia

Naviri.Org - Upaya menghindari pajak dilakukan oleh banyak orang di berbagai negara di dunia, dengan berbagai alasan dan latar belakang. Upaya-upaya itu bisa dilakukan dengan cara menyimpan uang mereka di negara-negara yang bebas pajak, atau pun menggunakan cara lain yang sama tersamar.

Baru-baru ini, upaya orang kaya menghindari pajak kembali terendus. Mengutip Bloomberg, regulator sektor keuangan Eropa dan Asia menemukan adanya transfer dana jumbo milik beberapa warga negara Indonesia senilai US$1,4 miliar atau sekitar Rp18,8 triliun dari Guernsey—wilayah Kepulauan Channel, Britania Raya—ke Singapura, melalui Standard Chartered Plc.

Proses transfer dana jumbo itu terjadi pada akhir 2015, atau sebelum Guernsey mengadopsi Common Reporting Standard—kerangka kerja global dalam pertukaran informasi secara otomatis untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI)—pada awal 2016.

Secara kebetulan, Standard Chartered juga menutup operasinya di Guernsey pada tahun yang bersamaan. Tidak menutup kemungkinan transfer dana jumbo milik WNI tersebut disebabkan keputusan Guernsey yang mulai menerapkan AEoI.

Apa sebenarnya AEoI? Kenapa ditakuti orang-orang kaya yang memiliki rekening di luar negeri? AEoI merupakan program dari negara G20 yang diinisiasi oleh OECD. Tujuan dari program ini adalah membangun suatu sistem yang dapat mendukung pertukaran informasi wajib pajak antarnegara.

Dengan sistem itu, wajib pajak yang membuka rekening di negara lain dapat terlacak secara langsung oleh otoritas pajak negara asalnya. Apabila terwujud, upaya penghindaran pajak dari oknum wajib pajak dapat diminimalisir.

Upaya dunia untuk menangkal praktik penghindaran pajak sudah dilakukan sejak era 1990-an. Di antaranya soal laporan OECD yang dipublikasikan pada April 1998, menyebutkan bahwa negara tax havens telah mengikis basis penerimaan pajak negara-negara lain. Selain mengikis basis penerimaan pajak negara-negara sebuah negara, perkembangan negara tax havens itu tumbuh sangat cepat. Di sisi lain, merusak sistem perpajakan yang adil, dan mengurangi kesejahteraan global.

Namun, laporan dari OECD ini rupanya dikritik. Pasalnya, laporan terkait negara tax havens tersebut tidak fokus ke salah satu anggota OECD, namun malah fokus ke Karibia, yang bukan anggota OECD. OECD membuat laporan keduanya pada 2000. Dari laporan tersebut, OECD mencatat terdapat 47 negara anggota OECD yang memiliki rezim perpajakan membahayakan, dan 35 wilayah yang diketahui termasuk kriteria negara tax haven.

Dari laporan kedua itu, dibentuklah suatu forum dengan nama OECD Forum on Harmful Tax Practices guna mendiskusikan hal-hal yang merusak perpajakan. Pertemuan multilateral pun digelar beberapa kali, di antaranya di Barbados pada Januari 2001.

Dalam pertemuan itu, sebanyak 160 peserta hadir, yang terdiri dari 13 negara OECD, 13 wilayah Persemakmuran Karibia, 5 wilayah Persemakmuran Kepulauan Pasifik, 8 wilayah Persemakmuran nonOECD, International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan lain sebagainya.

Sebanyak 47 negara secara tentatif menyepakati untuk berbagi informasi terkait keuangan wajib pajak secara otomatis pada Mei 2014. Standar pelaporan informasi secara otomatis pun dibentuk, dan diberi nama Common Reporting Standard (CRS).  Dari total 47 negara itu, sebanyak 34 negara merupakan anggota OECD. Sedangkan sisanya, adalah Argentina, Brasil, China, Kolombia, Kosta Rika, India, Indonesia, Latvia, Lituania, Malaysia, Arab Saudi, Singapura, dan Afrika Selatan.

Per Agustus 2017, total jumlah negara yang berkomitmen untuk menerapkan AEoI mencapai 102 negara. Dari jumlah tersebut, 49 negara akan melaksanakan AEoI pada 2017. Sementara sisanya 53 negara, termasuk Indonesia, mulai 2018.


Related

Money 1738541894863810865

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item