Asal Usul Banyaknya Prostitusi di Dekat Rel Kereta Api

Asal Usul Banyaknya Prostitusi di Dekat Rel Kereta Api

Naviri.Org - Jika kita perhatikan, banyak tempat prostitusi yang berdiri di dekat rel kereta api. Ada banyak kota di Indonesia yang terdapat tempat prostitusi, dan entah bagaimana letaknya berdekatan dengan rel kereta api. Mengapa ada banyak tempat prostitusi di dekat rel kereta api?

Dalam cerita Rudyard Kipling tentang Lalun, pelacur adalah profesi paling purba di dunia. Profesi ini, dengan berbagai macam panggilan dan peristilahannya, ada di mana-mana. Dari negara kaya, sampai negara miskin. Dari kota besar sampai kota kecil. Dari daerah elit sampai kawasan kumuh. Ia ada di hotel-hotel berbintang sampai pelabuhan, terminal atau stasiun, para kupu-kupu malam bisa ditemukan.

Di masa kini, di atas jam sembilan, tak begitu jauh dari Stasiun Jatinegara, kupu-kupu malam bisa ditemukan di pinggir jalan ke arah Klender. Tak hanya perempuan tulen yang menjual jasa seks, yang waria pun juga ada. Mereka berlagak seperti hendak menunggu angkutan umum. Pukul sembilan malam, bedak dan gincu mereka masih merekah.

Tempat mereka mangkal tak jauh dari pinggir rel. Mereka berharap laki-laki hidung belang yang biasanya pakai sepeda motor, mobil, atau yang hanya berjalan kaki, menghampiri dan bersedia merasakan layanan seks. Umumnya, mereka dibawa laki-laki hidung belang ke hotel-hotel murah di sekitar Jatinegara.

Geliat kupu-kupu malam sekitar rel tak hanya di sekitar Stasiun Jatinegara. Di Jakarta, masih ada kawasan Bongkaran di Tanah Abang, dan kawasan Royal di Pluit. Di Bandung ada Saritem yang tidak jauh dari rel kereta atau stasiun. Di Yogyakarta, kawasan Sarkem hanya sepelemparan batu dari Stasiun Tugu. Di Surabaya berada tak jauh dari stasiun Wonokromo dan stasiun Semut.

Mengapa banyak prostitusi di dekat rel kereta api?

Sebelum bis masuk ke Indonesia, angkutan massal paling utama adalah kereta api. Tak heran tempat prostitusi yang lebih dulu ada di sekitar stasiun. Di sekitar terminal baru belakangan muncul. Prostitusi dekat stasiun biasanya diramaikan oleh laki-laki hidung belang yang melakukan perjalanan yang jauh dari keluarga, dan merasa sepi. Hingga para kupu-kupu malam pun jadi pelarian.

Hidung belang lain, selain para pejalan yang jauh dari keluarga tadi, warga di kota sekitar stasiun pun kadang ke sana. Stasiun biasanya tak jauh dari pusat kota. Pusat kota di zaman kolonial biasanya terdapat tangsi. Di mana serdadu-serdadu kolonial cari hiburan pula di sekitar stasiun.

Rupanya, prostitusi di sekitar rel, menurut beberapa sejarawan, seringkali tak kalah tua usianya dengan rel yang dibangun.

“Selama pembangunan jalan-jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya tahun 1884, dunia pelacuran telah menjadi bagian penting penyedia jasa layanan seksual bagi para pekerja jalan kereta api. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika tempat pelacuran di beberapa kota tersebut terletak dekat stasiun kereta api,” tulis Nur Syam dalam Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental (2010).

Pembangunan kereta api memang terkait dengan pembangunan tanah koloni yang dulu bernama Hindia Belanda. Rel-rel itu penting sekali untuk mengangkut hasil bumi nusantara ke pelabuhan agar terjual secepatnya, dan pemerintah kolonial dapat pemasukan. Kehadiran kupu-kupu malam itu nampaknya hendak dijadikan pemompa para pekerja rel kereta api agar mereka giat bekerja. Setelah mereka terima upah, mereka akan tandaskan uang mereka untuk kupu-kupu malam itu.

“Beberapa tempat pelacuran yang dekat dengan stasiun kereta api dan punya keterkaitan sejarah dengan Hindia Belanda, misalnya: di Yogyakarta (Sarkem, Mbalokan, dan Sosrowijan), di Surabaya ada pelacuran di seputar Stasiun Semut,” tulis Terence Hull dalam Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya (1997).

Selain di sekitar rel, tempat prostitusi di zaman kolonial juga terbangun di sekitar pelabuhan.

Setiap daerah pelabuhan besar zaman Hindia Belanda, seperti Batavia (Tanjung Priok), Surabaya (Tanjung Perak), dan beberapa lainnya selalu ada tempat pelacuran, untuk melayani para pekerja di kapal-kapal milik orang Cina ataupun Belanda. Di mana para kuli atau pekerja itu adalah laki-laki yang jauh dari rumah mereka juga. Ketidakmampuan membawa atau memiliki istri membuat mereka menghibur diri di sekitar stasiun atau pelabuhan.

Baca juga: Riwayat Lokalisasi Dolly: Dulu dan Kini

Related

Insight 690445644935741941

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item