Keputusan untuk Tidak Punya Anak, dan Dampaknya

Keputusan untuk Tidak Punya Anak, dan Dampaknya

Naviri.Org - Sebagian kita mungkin berpikir bahwa orang menikah karena bertujuan agar memiliki anak atau keturunan. Karena hal itu pula, kita pun mungkin sering mendengar ada pasangan yang sampai berobat atau berikhtiar ke sana kemari, karena sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai anak. Memiliki anak, tampaknya, adalah keinginan banyak orang yang telah menikah.

Namun, bukan berarti bahwa setiap pasangan pasti memang ingin punya anak. Ada pula orang-orang yang menikah, namun tidak ingin punya anak, atau memutuskan untuk tidak memiliki anak. Keputusan untuk tidak memiliki anak itu umumnya dilatari berbagai alasan dan latar belakang tertentu. Sebagaimana pasangan punya hak untuk punya anak, pasangan yang lain juga tentu punya hak untuk tidak punya anak.

Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul "Childlessness in the United States" menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an. Alasannya beragam, mulai dari latar belakang permasalahan keluarga, sampai dengan pertimbangan pengasuhan anak di masa depan. 

Sementara itu, International Business Times melaporkan bahwa Australian Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih untuk tidak punya anak di antara tahun 2023-2029. 

Chelsea Handler, seorang pembawa acara televisi dan penulis buku “My Horizontal Life: A Collection of One-Night Stands”, turut mempunyai pandangan serupa. 

“Saya mantap untuk tidak punya anak. Saya merasa bukan seorang ibu yang hebat. Namun, saya adalah seorang bibi yang hebat sekaligus teman ibu-ibu yang baik,” kata Handler dalam sebuah wawancara televisi. 

Terdapat beragam alasan kenapa pasangan menikah memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Hal ini turut dijabarkan oleh Susannah Rigg. Ia menilai bahwa beberapa hal yang melatarbelakangi keputusan ini berkaitan dengan kesehatan, latar belakang keluarga, pertimbangan gaya hidup, alasan finansial, sampai alasan terkait emosional atau ‘maternal instinct’. 

Latar belakang masa lalu dan permasalahan di lingkungan sekitar kerap menjadi alasan pasangan memutuskan tidak ingin punya anak. Dari beberapa orang yang diwawancarai oleh Rigg, terdapat responden yang mengaku memilih hidup tanpa anak karena terlalu sering mendengar permasalahan para orangtua dengan anak-anak mereka.

Rigg juga melaporkan pasangan yang membuat keputusan serupa agar lebih leluasa dalam menjalani karier dan mengelola keuangan. Roberta, misalnya. Sebagai guru sekolah dan pengelola universitas, ia pernah bekerja di berbagai negara di luar Amerika Serikat. Ia juga membantu temannya dalam membesarkan anak. "Keputusan-keputusan cara hidup, karier, dan keuangan seperti ini jadi lebih mudah dijalani ketika tanpa anak," katanya.

Terlepas dari keputusan personal tersebut, banyak juga pasangan yang memutuskan tidak punya anak secara biologis, tapi masih ingin mengadopsi. Mereka menilai masih ada banyak sekali anak di dunia yang membutuhkan orangtua dibanding harus melahirkan bayi baru lagi.

“Orang bilang saya egois, tapi apakah mereka yang memutuskan punya anak juga tidak egois? Melahirkan anak ke dunia yang sudah penuh dengan anak-anak," Kata Johanna, perempuan berusia 46 tahun, salah satu responden Rigg.

Amy Blackstone dari University of Maine, yang tulisannya dipublikasi di The Family Journal, mencoba menelaah bagaimana pilihan yang diambil Roberta dan Johanna dapat terjadi di tengah masyarakat yang kebanyakan masih menganut nilai keluarga konvensional (ibu, ayah, dan anak). 

Blackstone bertanya kepada 21 perempuan dan 10 laki-laki yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Mereka rata-rata berumur 34 tahun dan merupakan pasangan heteroseksual.

Wawancara yang dilakukan selama 60 sampai 90 menit ini membahas tiga hal pokok, yaitu bagaimana proses keputusan tidak punya anak dibuat, bagaimana respons orang lain terhadap keputusan tersebut, dan refleksi dari hal-hal terkait pilihan hidup mereka. 

Hasil wawancara tersebut menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak punya anak merupakan satu pilihan yang dibuat dengan sadar, hati-hati, dan penuh pertimbangan oleh setiap pasangan. Alasan-alasan yang melingkupinya adalah karier, finansial, sampai kebebasan setiap pasangan menjalani kehidupan personal mereka.     

Jika Anda berpikiran serupa dengan mereka yang memilih hidup tanpa anak, sebaiknya timbang juga dampaknya. Ada konsekuensi sosial dari masyarakat sekitar jika kita memutuskan tidak mempunyai anak. F. Van Balen turut menelaah hal ini dalam risetnya yang berjudul "The social and cultural consequences of being childless in poor-resource areas."

Ia melakukan studi literatur mengenai dampak sosial orang-orang yang memutuskan tidak punya anak di beberapa negara. Studi ini dikaji dari empat database online, yaitu Web of Science, Academic Search Premier, Science Direct, dan PiCarta.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari masing-masing negara, Van Balen menemukan bahwa konsekuensi paling banyak ditemukan di lingkungan masyarakat terhadap mereka yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak adalah kekerasan verbal.

Barangkali kita sering mendengar pernyataan orang-orang kebanyakan, seperti, “Anak ada untuk menjaga kalian di masa depan. Kalau kalian sakit, harus masuk rumah sakit, atau bahkan kelak meninggal, siapa yang akan mengurus?”

Selain itu, kekerasan verbal juga dapat berupa gunjingan dan tuduhan dari keluarga, rekan kerja, dan tetangga sekitar. Tuduhan pun beragam, mulai dari anggapan pasangan yang tidak subur, permasalahan kesehatan seksual, sampai dengan ketidakharmonisan dengan pasangan.

Perkara inilah yang kemudian akan memunculkan gunungan stigma negatif yang bisa berpengaruh pada hilangnya rasa hormat dan pengucilan dari masyarakat.

Konsekuensi dari dalam keluarga sendiri, menurut riset Van Balen, lebih banyak menimpa perempuan yang membuat keputusan tidak ingin punya anak. Permasalahan bisa muncul, baik dari mertua, keluarga, serta suaminya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa berakibat pada ketidakstabilan pernikahan pasangan tersebut. Ada yang takut dipoligami, juga ada yang mengkhawatirkan perceraian.

Baca juga: Suami Istri Bekerja, dan Rumitnya Membina Rumah Tangga 

Related

Relationship 7177093904478647422

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item