Mengapa Air Keran Disebut Air Ledeng?

 Mengapa Air Keran Disebut Air Ledeng?

Naviri.Org - Di sebagian kalangan masyarakat, ada istilah populer yang biasa digunakan untuk menyebut air keran, yaitu “air ledeng”. Mengapa air yang muncul dari keran pipa disebut air ledeng?

Penyebutan itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan asal usulnya. Di masa lalu, pada zaman kolonial Belanda, orang-orang masih biasa menggunakan air dari sumur atau sungai untuk mandi, mencuci, dan lain-lain. Namun, mulai era 1900-an, pemerintah kolonial mulai mengadakan air bersih yang disalurkan melalui pipa-pipa. Jaringan pipa air itu disebut “waterleiding”. Belakangan, istilah itu populer. Karena air yang keluar dari keran pipa dinamai waterleiding, orang-orang pun secara mudah menyebutnya “air ledeng”.

Pada kurun waktu 1900 hingga 1920, jaringan pipa air alias waterleiding—yang biasanya dikelola sebuah perusahaan atau jawatan—jauh lebih terbatas dibanding sekarang.

Waterleiding hadir sebagai solusi penyedia air bersih di zaman kolonial, termasuk keperluan air bersih untuk minum. Ratusan tahun sebelumnya, menurut penelusuran Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, sejak lama orang di Asia Tenggara memenuhi kebutuhan air bersih dengan mengendapkan air sungai cukup lama agar jernih. Orang Siam (Thailand) bahkan harus mengendapkannya selama tiga minggu sampai satu bulan di dalam gentong atau kendi.

Pemerintah kolonial yang punya kepentingan akan air bersih pun mengurusi banyak mata air dan membangun banyak menara air di beberapa kota di Indonesia. Contohnya di alun-alun kota Magelang, di lokasi yang kini menjadi kantor Walikota Palembang. Mata air dan menara air itu terkait pula dengan waterleiding, jawatan penyedia air bersih via pipa yang baru marak di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Di masa itu, air bersih sudah dirasa jadi masalah yang harus diselesaikan di Jakarta. Menurut catatan Mona Lohanda dalam Sejarah Sosial DKI Jakarta Raya (1984), air bersih untuk Gemeente Batavia (Kotapraja Jakarta) berada di Ciomas, dekat Bogor.

Air itu disalurkan lewat waterleiding. Pembangunannya sudah disetujui oleh sidang Gemeente pada 21 Oktober 1918 dan dikerjakan dalam waktu empat tahun. Waterleiding itu diresmikan pada tanggal 23 Desember 1922. Belakangan, seperti terpacak pada situs PAM JAYA, tanggal ini dijadikan hari ulang tahun Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM-Jaya).

Tentu saja tak hanya Jakarta saja yang punya waterleiding. Koto Gadang, sebuah daerah di Sumatera Barat, juga sudah mempunyainya sebelum Indonesia merdeka. Menurut catatan Azizah Etek, dkk dalam Koto Gadang Masa Kolonial (2007), penggagasnya adalah seorang Minang yang cukup disegani dan pernah jadi anggota dewan rakyat Volksraad, Yahya Datuk Koyo. Ia adalah ayah Gubernur Militer Jakarta tahun 1950, Daan Yahya. Gagasan pengadaan waterleiding ini dikemukakan dalam Rapat Nagari, 9 Juli 1918.

Kala itu, Yahya Datuk Kayo adalah Demang Payakumbuh. Usulan ini disambut baik oleh ahli mata dokter Syaaf. Menurutnya, air yang biasa digunakan masyarakat kurang baik bagi kesehatan, termasuk kesehatan mata. Namun, pembangunan tidak bisa langsung dilakukan karena besarnya dana yang diperlukan. Pembangunan baru terlaksana pada 1932 dan diresmikan 30 Januari 1933.

Di Surabaya, menurut De Waterstaats Ingenieur Volume 7 (1919) dan Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe (2008), pemasangan pipa-pipa waterleiding oleh NV Biernie dianggap sudah selesai pada 1903 dan resmi dipakai pada 8 Oktober 1903. Pelanggannya di Surabaya tahun 1906 sudah mencapai 1.588 dengan volume air yang terpakai 9.000 m3 tiap harinya.

Saat ini, di tiap daerah ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang memasok air bersih ke masyarakat melalui jaringan pipa waterleiding seperti zaman kolonial dulu. Jangkauan jaringan pipanya lebih banyak ketimbang waterleiding kolonial. Meski tak lagi dianggap kemewahan, hingga kini tak semua orang Indonesia mandi dari air waterleiding atau pipa-pipa PDAM. Itulah sebabnya air sumur dan pompa air populer.

Di zaman kolonial, Waterleiding terkait dengan jawatan bernama Burgeiljke Openbare Werken (BOW) alias Pekerjaan Umum. Perlahan, istilah waterleiding—yang masih dipakai pada zaman Sukarno—pun berganti sebagai PAM (singkatan dari Perusahaan Air Minum).

Namun, istilah "air ledeng" masih ada dan bersanding dengan PAM. Orang-orang di Surabaya menyebutnya banyu ledeng (air ledeng). Di Bandung, terdapat kawasan dan terminal dengan nama Ledeng, dan di situ pula terdapat pipa-pipa air warisan waterleiding zaman Hindia Belanda.

Baca juga: Polusi dan Masalah Pencemaran Lingkungan di Cina

Related

Science 6523267733036974888

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item