Yerusalem, Antara Konflik dan Harapan Perdamaian

Yerusalem, Antara Konflik dan Harapan Perdamaian

Naviri.Org - Yerusalem, kota tua yang dianggap suci oleh tiga agama, telah menjadi sumber konflik sejak lama, khususnya oleh Israel dan Palestina. Kedua pihak sama-sama menginginkan Yerusalem sebagai milik mereka, bahkan menginginkannya sebagai ibu kota. Namun, harapan kedua pihak itu—sejauh ini—tidak terlaksana karena adanya beberapa konflik yang menyertai Yerusalem.

Sudah sejak lama, Israel mengincar Yerusalem sebagai ibu kota. Hal serupa terjadi pada Palestina, yang sama menginginkan Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Karena keinginan tersebut, PBB kemudian menjadikan Yerusalem sebagai wilayah bebas yang tidak bisa diklaim siapa pun (Israel maupun Palestina).

Namun, sekarang, pemerintah Donald Trump bikin dunia geger dengan rencana pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Padahal beberapa presiden AS pendahulunya mengurungkan rencana itu. Demi keamanan negara, kata mereka.

Isu ini pertama kali diembuskan oleh Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, pekan lalu. Dia bilang Trump tidak melupakan janjinya saat kampanye, pemindahan kedubes AS tinggal mencari "waktu dan caranya". Bahkan isu ini semakin gawat setelah seorang pejabat AS mengatakan Trump akan mengumumkan pemindahan pada pekan ini.

Dunia langsung bereaksi. Pemerintah negara-negara Arab dan mayoritas Islam, termasuk Indonesia, memperingatkan Trump untuk tidak melakukannya. Pasalnya, langkah itu hanya akan menimbulkan ketegangan di Timur Tengah, dan perdamaian Israel-Palestina akan semakin kandas ke dasar jurang.

Jika AS memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, berarti negara itu mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal sejak 70 tahun lalu, konsensus internasional menyatakan Yerusalem adalah wilayah internasional tidak bertuan, namun saat ini diduduki secara ilegal oleh Israel.

Sejarah Yerusalem 

Setelah mandat Inggris terhadap Palestina berakhir, pada 1947 PBB merancang rencana Partisi Palestina, pemisahan negara Israel dan Palestina. Namun Yerusalem sebagai kota suci tiga agama menjadi "kota internasional" yang tidak masuk dalam kekuasaan negara manapun. Istilahnya corpus separatum.

Namun setelah Perang Enam-Hari, Israel melanggar resolusi tersebut dengan menduduki Yerusalem Timur. Sejak saat itu, wilayah yang juga mencakup Masjidil Aqsa ini masuk dalam penguasaan Israel.

Pada Juli 1980, Israel meloloskan undang-undang yang menyatakan Yerusalem adalah ibu kota Israel. Namun menurut komunitas internasional, klaim itu tidak sah. Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan resolusi yang mengecam pencaplokan Yerusalem Timur dan menyatakan Israel telah melanggar hukum internasional.

Palestina juga mengklaim Yerusalem Timur akan jadi ibu kota mereka kelak. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan kemerdekaan Palestina pada 1988, dan Yerusalem dideklarasikan akan menjadi ibu kota negara Palestina yang merdeka.

Pada 2002, pemimpin PLO saat itu, Yasser Arafat, meloloskan undang-undang yang menegaskan kembali bahwa Yerusalem adalah ibu kota mereka. Deklarasi ini malah semakin membuat Israel kencang menggenggam Yerusalem dan melarang PLO berkantor di kota itu.

Yerusalem jadi salah satu faktor utama perdamaian Palestina-Israel. Dalam "solusi dua negara" yang jadi dasar mediasi perdamaian Israel-Palestina, klaim terhadap wilayah Yerusalem tumpang tindih. Selama belum dicapai kesepakatan soal siapa yang menguasai Yerusalem, perdamaian sulit tercipta antara kedua negara.

Ada beberapa negara yang pernah mendirikan Kedubes di Yerusalem, di antaranya Belanda dan Kosta Rika sebelum 1980. Namun pada 2006, setelah muncul kecaman DK PBB, seluruh kedutaan dipindahkan ke Tel Aviv, terakhir adalah Kosta Rika dan El Salvador.

Tapi di kota ini banyak konsulat yang berkantor, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.

AS sendiri tidak pernah membangun kedubes di Yerusalem, selalu di Tel Aviv, ibu kota Israel yang diakui internasional.

Pada 1989, Israel telah menyewakan sebidang lahan di Yerusalem untuk dibangun Kedutaan AS. Sewanya untuk 99 tahun, 1 dolar AS (Rp 13 ribu) per tahunnya. Sampai saat ini, tanah itu masih kosong melompong.

Pada 1995, Kongres AS telah meloloskan undang-undang yang mengharuskan AS segera memindahkan Kedutaan mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem. Menurut Kongres, pemerintah AS harus menghormati dan mengakui klaim Israel bahwa Yerusalem adalah ibu kota mereka.

Walau telah menjadi UU, tapi tidak ada presiden AS yang berani ambil risiko. Sejak zamannya Bill Clinton, George W Bush, hingga Barack Obama, semuanya menolak memindahkan kedutaan, alasannya demi keamanan nasional.

Karena itu setiap 6 bulan sekali, presiden AS menandatangani surat penangguhan pelaksanaan UU tersebut. Presiden Donald Trump sudah sekali menangguhkannya, dan bulan ini jatuh temponya.

Sejak kampanye tahun lalu, Trump telah mengatakan akan memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem. Janji ini tentu saja untuk menggaet para pemilih Yahudi yang jumlahnya jutaan. Akhir tahun ini, pemerintahannya mengatakan Trump tidak mengabaikan janjinya tersebut, pemindahan kedubes tinggal masalah "waktu dan cara".

Rencana AS ini tentu saja direspons dengan kewaspadaan tidak hanya oleh Palestina, tapi negara-negara mayoritas Islam lainnya, termasuk Indonesia.

Pemindahan kedutaan ke Yerusalem adalah pelanggaran hukum internasional, kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Langkah AS akan menciptakan gelombang protes di Palestina dan banyak negara, dikhawatirkan berakhir dengan kekerasan.

Baca juga: Donald Trump di Antara Sejarah Konflik Yerusalem

Related

Insight 2078316568811129315

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item