Kisah WNI Jadi Korban Penipuan Kartel Investasi Bodong di Kamboja

Terungkap Pesan Ancaman Pembunuhan Brigadir J: Jangan Temui Ibu Putri

Investasi bodong yang telah terjadi di Kamboja setidaknya selama tujuh tahun terakhir menargetkan orang-orang dari negara-negara Asia Tenggara - termasuk warga negara Indonesia - yang membutuhkan pekerjaan.

Rendi - bukan nama sebenarnya - adalah salah satu korban yang berasal dari Indonesia. Rendi pertama kali melihat lowongan pekerjaan sebagai customer service di Kamboja itu di Facebook, dengan iming-iming gaji sebesar USD1.200 (Rp17,8 juta) per bulan.

Sebagai orang dengan pengalaman bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah, Rendi mencoba mencari tahu melalui Whatsapp.

Rendi sempat diwawancarai oleh penipu tersebut. Awalnya dia ragu, karena si penipu yang mulanya dia kira sebagai staf personalia di perusahaan itu, tidak memberikan kontrak kerja. Namun si penipu meyakinkan bahwa kontrak kerja akan diberikan begitu Rendi tiba di perusahaan. Dia pun memutuskan untuk berangkat ke Kamboja.

“Yang membuat saya yakin mereka membuka lowongan kerja ini di… istilahnya beberapa agensi yang sebetulnya legal,” kata Rendi.

Si penipu pun membelikan dan mengirimkan tiket keberangkatan kepada Rendi pada tanggal yang telah disepakati pada Mei lalu.

Begitu tiba di bandara, dia langsung dijemput oleh si penipu tersebut. Dia kemudian dibawa ke perusahaan yang berlokasi di Sihanoukville.

Baru belakangan Rendi mengetahui bahwa orang yang dia kira sebagai staf personalia itu sebetulnya agen penyalur yang mendapat komisi sebesar USD2.000 (Rp29,7 juta) untuk setiap orang yang mereka jebak.

Dalam ingatan Rendi, perusahaan itu terletak di area dengan banyak gedung seperti apartemen. Di setiap gedung terdapat ruangan-ruangan untuk kantor, juga flat.

Pada hari pertama bekerja, Rendi diminta membuat akun media sosial palsu menggunakan foto dari model-model yang juga dipekerjakan di perusahaan itu.

Dia kemudian diminta membuat pertemanan dengan calon-calon korbannya melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram, hingga aplikasi kencan. Targetnya adalah perempuan-perempuan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Vietnam.

Pada masa-masa awal itu, Rendi belum diberi target. Namun dari cerita orang-orang yang juga dipekerjakan di situ, dia mengetahui bahwa setiap tim yang terdiri dari enam hingga tujuh orang ditargetkan mendapatkan USD35.000 (Rp520 juta) per bulan.

Rendi diminta untuk mendekati orang-orang yang potensial menjadi korbannya dengan membangun pertemanan. Dia harus mencari tahu keseharian hingga pekerjaan korban, bahkan membangun hubungan asmara dengan calon korbannya.

Untuk meyakinkan para korban bahwa pelaku ini “nyata”, perusahaan pun bersedia memodali.

“Misalnya kalau dia minta sampai kirim bunga, kalau memang dia potensinya besar, itu akan dikirim. Bos enggak masalah. Apalagi kalau [korban] sudah investasi,” ujar Rendi.

Apabila target sebesar USD35.000 sudah tercapai, mereka pun akan memutuskan komunikasi dan menghilang dari korban. Uang itu didapat dengan menjebak korban menyetorkan uang untuk investasi bodong, menjual tiket palsu pertandingan Piala Dunia Qatar, atau belanja online di platform e-commerce palsu tanpa pernah mengirimkan barangnya.

Selama bekerja di perusahaan itu, Rendi mengatakan dia tidak pernah digaji. Dengan dalih kinerjanya tidak memenuhi target, Rendi pun dioper-oper di antara tiga perusahaan tanpa digaji.

“Dibilang customer saya kurang lah, target dari customer itu kurang, tapi nyatanya setelah saya keluar pun mereka tetap pakai customer saya. Teman-teman yang sudah punya target juga, dia dioper lagi, dijual lagi ke perusahaan lain. Hanya dimanfaatkan saja, dikuras saja,” tutur Rendi.

Selama di perusahaan itu, Rendi juga mengaku pernah mengalami kekerasan, namun dia belum bisa mengungkapkannya secara rinci. “Saya masih trauma. Ada beberapa teman yang… meninggal juga [disiksa].”

Penyiksaan seperti disetrum dan diborgol, kata dia, menjadi hal yang umum dibicarakan antar para pekerja bila dianggap tidak bekerja dengan baik dan memenuhi target. Situasi itu pula yang mendorong Rendi mencari cara untuk keluar dari perusahaan itu.

Namun, apabila dia mengundurkan diri, Rendi harus membayar penalti sebesar USD11.000 (Rp163,5 juta) kepada perusahaan.

Rendi akhirnya mencari cara untuk kabur. Suatu hari, di tengah hujan, ketika dia berada di luar karena hendak dipindahkan ke perusahaan serupa lainnya, Rendi berhasil kabur.

Dia langsung mencari angkutan umum untuk pergi ke ibu kota Pnom Penh dan mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Pada 2 Agustus 2022, Rendi akhirnya berhasil pulang ke Indonesia.

Kisah Tin, korban asal Vietnam

Salah satu korban asal Vietnam, Chi Tin, kini menanggung utang senilai 88 juta VND atau sekitar Rp55,5 juta dengan bunga 20% per bulan dari rentenir.

Tin bercerita apa yang menimpa dirinya berawal dari obrolan singkat di aplikasi pengiriman pesan Zalo, setelah dia melihat iklan lowongan pekerjaan di Facebook.

Lowongan pekerjaan itu mensyaratkan keterampilan mengetik dengan upah sekitar US$900 atau Rp13,2 juta per bulan.

Mengaku terbang ke Kamboja untuk melihat kantor yang menawari pekerjaan itu, Tin justru berakhir disekap dan harus menebus kebebasannya dengan banyak uang.

Related

News 3718449337973640744

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item