Kisah, Sejarah, dan Filosofi Kuda Lumping

Kisah, Sejarah, dan Filosofi Kuda Lumping

Naviri.Org - Kuda lumping adalah salah satu jenis tarian tradisional dari daerah Jawa, yang menampilkan sekelompok prajurit bermain kuda-kudaan. Di beberapa tempat di Jawa, kuda lumping juga sering menjadi atraksi yang dipamerkan dari satu tempat ke tempat lain, yang biasanya dibawakan serombongan orang.

Biasanya, rombongan kuda lumping—biasa disebut begitu—terdiri dari beberapa orang, pria atau wanita, dan menyuguhkan atraksi kuda lumping yang menarik ditonton, lengkap dengan adegan-adegan yang tampak berbahaya, seperti orang dipecut, makan beling, dan lain-lain.

Kuda lumping terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong hingga menyerupai bentuk kuda, tak lupa dicat beraneka warna. Kuda lumping dikenal juga dengan nama jaran kepang atau jathilan.

Tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini bisa dilihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Selain adegan para prajurit berkuda, kesenian ini juga biasanya menampilkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, atau tahan pecutan.

Pada tahun 2012, Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), mengakui bahwa sejarah atau asal usul kuda lumping belum tercatat secara baik sehingga falsafahnya beragam. Meski tak banyak sejarah yang tercatat, kesenian ini masih bertahan.

"Narasi tentang kuda lumping itu tidak pernah dituliskan. Ia berkembang secara oral. Dari mulut ke mulut. Narasi lisan itu mempercayai bahwa kuda lumping merupakan tarian yang menggambarkan prajurit perang yang sedang menunggang kuda," kata Yono USU, akademisi sekaligus seniman Jawa.

Yono juga menjelaskan bahwa eksistensi kuda lumping di Sumatera Utara, salah satunya tidak lepas dari migrasi orang Jawa ke Tanah Deli. Kuda lumping yang berkembang di Sumatera Utara, secara umum mengambil versi ebeg yang berkembang di Banyumas.

Menurut buku yang dikeluarkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tahun 2005 berjudul Kesenian Tradisional Provinsi Banten, kuda lumping berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur.

Diceritakan bahwa Raja Ponorogo selalu kalah dalam peperangan sehingga ia meninggalkan kerajaan sementara waktu untuk bertapa. Saat sedang bertapa, Raja mendengar suara yang mengatakan jika ia ingin menang perang, harus menyiapkan pasukan berkuda.

Kuda lumping juga menjadi bentuk penghormatan kepada Dewa. Setiap tahun, ada upacara kebaktian dengan menampilkan tarian kuda lumping.

Beberapa daerah di Indonesia punya jenis kuda lumping yang berbeda, beberapa di antaranya adalah:
  1. Jaranan Thek, Ponorogo
  2. Jaranan Kediri, Kediri
  3. Jaranan sentherewe, Tulungagung
  4. Jaranan Turonggo Yakso, Trenggalek
  5. Jaranan Buto, Banyuwangi
  6. Jaranan Dor, Jombang
  7. Jaran Sang Hyang, Bali
  8. Jathilan Dipenogoro, Yogyakarta dan Jawa Tengah
  9. Jathilan Hamengkubuwono, Yogyakarta dan Jawa Tengah

Baca juga: Biografi Ranggawarsita: Kehidupan dan Ramalannya

Related

Insight 1156751618053006476

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item