Urusan Pajak, dan Era Berakhirnya Kerahasiaan Bank

Urusan Pajak, dan Era Berakhirnya Kerahasiaan Bank

Naviri.Org - Pada 29 Oktober 2014, di depan perwakilan 100 negara dalam konferensi perpajakan yang digelar di Berlin, Jerman, Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schaeuble menyatakan, “Mari kita bersama-sama berkontribusi untuk transparansi dan keadilan di era globalisasi abad 21."

Dengan dukungan dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sebanyak 51 negara menyepakati untuk memfasilitasi otoritas pajak agar dapat mengakses data perbankan secara otomatis. Kesepakatan tersebut dinilai menjadi tonggak sejarah dalam memerangi penggelapan pajak yang sudah berlangsung sejak lama. Di tengah kondisi ekonomi yang makin rawan terhadap krisis global.

Kesepakatan itu juga akan mengakhiri era kerahasiaan bank yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Seruan Schaeuble ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap kian agresifnya upaya-upaya penggelapan pajak yang terjadi secara global, terutama dengan cara menyimpan harta di berbagai negara lain (offshore tax evasion) atau negara-negara surga pajak.

Keprihatinan Schaeuble tidak salah. Pada awal 2016, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk Panama Papers secara serentak di seluruh dunia. Publik pun terkejut melihat isi dokumen tersebut. Data yang bersumber dari bocoran data Mossack Fonseca ini berisikan 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara. Para klien Fonseca ini diduga menyembunyikan harta untuk menghindari pajak di negara masing-masing.

Dari daftar klien Fonseca tersebut, memuat juga sejumlah nama-nama tersohor di Indonesia, mulai dari pengusaha hingga politisi. Tercatat, ada lebih dari 2.961 nama yang memiliki rekening luar negeri di bank-bank offshore. Cara ini seringkali menjadi pilihan favorit bagi orang kaya untuk menyimpan hartanya agar tidak terkena pajak. Apalagi, kebanyakan bank offshore berada di negara-negara tax havens atau yang menerapkan pajak rendah.

Sejak laporan 2000, sejumlah wilayah telah berkomitmen untuk menghilangkan hal-hal yang merusak perpajakan, di antaranya seperti Aruba, Bahrain, Isle of Man, Netherlans Antiles, dan Seychelles. Hingga 2001, tercatat 11 wilayah yang berkomitmen. Selain mengenai hal-hal yang berpotensi merusak ketentuan dan tata cara perpajakan yang baik dan benar, OECD juga melakukan dialog dengan 47 wilayah yang dikategorikan sebagai tax havens.

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, hasil dari pertemuan tersebut menetapkan agar seluruh wilayah yang berkomitmen untuk mulai transparan dalam pertukaran informasi di bidang perpajakan pada 28 Februari 2002.

Kendati ditetapkan 28 Februari 2002, wilayah yang berkomitmen untuk melakukan praktik perpajakan secara benar diberikan waktu tambahan, dari sebelumnya hanya 6 bulan, menjadi 12 bulan.

Dalam perjalanannya, skema-skema untuk meminimalisir upaya penghindaran pajak terus berkembang. Sebelum AEoI, kerja sama pertukaran informasi wajib pajak juga sudah dilakukan, namun masih atas permintaan (by request). Sejumlah negara pun telah mendapatkan manfaat yang cukup besar. Sebagai contoh, otoritas pajak Afrika Selatan berhasil mengumpulkan dana sebesar $62 juta pada 2013 dari satu wajib pajak, berdasarkan informasi dari kerja sama itu.

Meski begitu, skema kerja sama pertukaran informasi keuangan antarnegara atas permintaan atau Exchange of Information on Request (EoIR) tersebut dinilai masih belum cukup untuk menangkal praktik penghindaran pajak.

Wajib pajak, khususnya korporasi, dinilai masih agresif dalam menghindari pajak. OECD memperkirakan total kehilangan penerimaan pajak akibat praktik penghindaran pajak (tax avoidance) menembus US$240 miliar per tahun.

Baca juga: Drama Perburuan Para Penggelap Pajak di Dunia

Related

Money 741017751773596220

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item