Pelajaran Bisnis dari Tutupnya 7-Eleven di Indonesia

Pelajaran Bisnis dari Tutupnya 7-Eleven di Indonesia

Naviri.Org - Konsep bisnis yang diusung 7-Eleven sebenarnya menarik. Mereka menggabungkan toko kelontong dengan konsep semacam kafe yang bisa dimanfaatkan siapa pun untuk nongkrong dan duduk-duduk. Agar orang-orang tertarik masuk 7-Eleven, mereka pun menyediakan Wifi gratis, sehingga orang-orang bisa mengakses internet secara leluasa.

Dengan konsep yang menarik semacam itu, 7-Eleven pun segera populer, khususnya di kalangan anak muda. Di Jakarta, mereka biasa menyebut 7-Eleven dengan sebutan Sevel, dan kerap menjadikan tempat itu sebagai sarana nongkrong serta bercengkerama dengan teman-teman.

Tetapi, ternyata, konsep bisnis yang tampak menarik itu belakangan justru gagal. Bukti kegagalannya juga sangat tampak, yaitu tutupnya gerai-gerai 7-Eleven di Indonesia.

Tutupnya seluruh gerai 7-Eleven menguraikan sejumlah permasalahan pemain bisnis retail di Tanah Air. Meski tak berlaku untuk semua pemain, namun apa yang dialami 7-Eleven patut menjadi pembelajaran.

Kehadiran gerai waralaba yang akrab disebut Sevel ini memang sempat menjadi lokasi nongkrong andalan anak muda Jakarta. Bagaimana tidak. Sejak dibuka pada 2008, model bisnis yang menggabungkan toko kelontong (convenience store) dan restoran cepat saji ini, buka 24 jam dan menyediakan tempat duduk beserta dengan jaringan internet gratisnya.

Dengan modal kacang kulit dan satu botol minuman, siapa saja bisa bebas duduk dan mengobrol dari mulai matahari terbit hingga terbenam, pun sebaliknya.

Tapi, model bisnis ini yang agaknya menjadi bumerang bagi 7-Eleven.

Ketua Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Levita Supit, mengatakan bangkrutnya 7-Eleven boleh jadi lantaran konsumen lebih banyak menghabiskan waktu untuk nongkrong daripada berbelanja. "Kalau kita lihat, anak muda nongkrongnya lebih banyak dari belanja. Sehingga target (perusahaan) tidak tercapai," ujar Levita.

Belum lagi pada akhirnya model bisnis 7-Eleven ini ditiru oleh pemain lain seperti Lawson (hadir pada 2011) dan Family Mart (hadir pada 2013). Padahal saat baru hadir, banyak yang menyebut ketenaran 7-Eleven mampu menyaingi pemain waralaba lainnya, Circle-K.

Lembaga pemeringkat kredit internasional, Fitch Ratings, juga menyepakati model bisnis yang diaplikasikan oleh 7-Eleven di Indonesia tidaklah solid, sehingga bisnisnya menjadi tak terukur. Sebab, model bisnis yang demikian hanya akan membuat perusahaan menggelontorkan biaya operasional yang besar.

Associate Director Fitch Ratings Indonesia, Olly Prayudi, dalam siaran persnya menyebut profil bisnis ini secara signifikan berbeda dari minimarket lainnya, seperti Alfamart dan Indomaret, yang memberi penekanan lebih besar pada belanja bahan makanan.

Selain itu, jaringan dua peritel tadi jauh lebih luas dibandingkan 7-Eleven. Sebagai catatan, sejak dibuka hingga ditutup per 30 Juni 2017, gerai 7-Eleven hanya ada di Jakarta. Kota-kota besar lainnya yang direncanakan dalam proyeksi ekspansinya gagal terwujud.

Model bisnis 7-Eleven di Indonesia juga terbilang berbeda dibandingkan dengan di negara-negara lainnya. Di Singapura dan Australia misalnya, 7-Eleven hanyalah sekadar minimarket pada umumnya, dengan harga yang sama.

Di Malaysia, beberapa gerai 7-Eleven mulai menerapkan konsep yang sama dengan Indonesia, namun kursi dan meja yang disediakan tak sebanyak gerai-gerai di Jakarta.

Meski begitu, Olly juga menyepakati bahwa faktor regulasi yang diterapkan di Indonesia juga menjadi sandungan terbesar bagi bisnis gerai yang dikelola PT Modern Sevel Indonesia, anak dari PT Modern International Tbk ini.

Salah satu regulasi yang kurang menguntungkan itu adalah larangan menjual minuman beralkohol di minimarket melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaraan, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Jika direrata dalam setahun, ada sekitar 30 sampai 60 gerai 7-Eleven baru dibuka di Jakarta. Ini membuat jumlah gerai 7-Eleven terus bertambah.

Tahun 2011, hanya ada 50-an gerai, tahun 2012 jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat. Sampai tahun 2014, jumlah gerai 7-Eleven di Jakarta mencapai 190. Di tahun itu juga, sebanyak 40 gerai baru dibuka.

Penjualan bersih pun naik 24,5 persen menjadi Rp971,7 miliar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp778,3 miliar. Tahun itu bisa disebut sebagai puncak kejayaan 7-Eleven.

Tahun berikutnya, penjualan menurun, pun begitu dengan jumlah gerainya. Tahun 2015 itu, total penjualan bersih turun menjadi Rp886,84 miliar. Pada tahun inilah, 7-Eleven untuk pertama kalinya melakukan penutupan 20 gerainya.

Baca juga: Upaya Menghidupkan Bisnis Ritel yang Sekarat

Related

Business 4994516541416558545

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item