Memahami Dampak dan Risiko Pernikahan Dini

Memahami Dampak dan Risiko Pernikahan Dini

Naviri.Org - Pernikahan dini mungkin tampak indah bagi sebagian orang, khususnya remaja-remaja yang dibuai imaji pernikahan dini melalui sinetron atau film. Dua orang—cowok-cewek—yang saling jatuh cinta bisa menikah, sehingga bisa menikmati kebersamaan dan kedekatan kapan saja di mana saja. Tetapi, sayang, pernikahan dini tidak seindah itu dalam kenyataan.

Di masa lalu, misalnya, orang-orang menikah dalam usia yang jauh lebih muda dibanding orang-orang zaman sekarang. Yang mereka lakukan itu bisa dibilang pernikahan dini, karena menikah di usia yang masih belasan tahun. Tapi apakah kemudian kehidupan mereka seindah dan semanis dalam sinetron? Sayangnya, kebanyakan tidak. Bukannya indah, mereka justru menghadapi masalah. Salah satunya adalah stunting.

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama, akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan, dan baru tampak saat anak berusia dua tahun.

Staf Ahli Bidang Kependudukan Kemenko PMK Sonny Harry Budiutomo menyebut persoalan stunting di Indonesia tak bisa lepas dari kemiskinan. Merujuk pada data Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia, semakin ke timur Indonesia, angka stunting semakin tinggi.

Tak hanya soal asupan gizi yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak sejak mereka masih dalam kandungan, faktor lain seperti perkawinan dini di bawah usia 20 tahun juga disebut menjadi salah satu pemicu mengapa angka stunting di Indonesia cukup tinggi.

Seperti diketahui, UU Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan ketika penduduk Indonesia hanya lulusan SD dan SMP. Sonny mengatakan, bayangkan pada usia SMP anak-anak Indonesia sudah menikah padahal masih ada waktu bagi mereka untuk melanjutkan sekolah terlebih dulu lalu sebelum menikah.

"Karenanya UU Perkawinan 1/1974 menurut saya sudah tidak relevan lagi, terutama dari sudut pandang pendidikan," kata Sonny, dalam Economic Challenges, Selasa 7 November 2017.

Sonny mengatakan tak hanya dari sudut pandang pendidikan, dari sisi 1000 hari pertama kehidupan pun mereka yang hamil di bawah usia 20 tahun berisiko melahirkan bayi prematur. Hal ini dipengaruhi oleh rahim yang masih berkembang sementara sudah ada janin di dalamnya.

"Kalau prematur kemungkinan anak itu mengalami infeksi lebih tinggi. Jadi ada risiko lagi terhadap stunting, terhadap masa depan anak," katanya.

Urgensi merevisi UU Perkawinan, kata Sonny, juga berkaitan dengan masa depan finansial sebuah keluarga. Taruhlah di usia 16 remaja sudah menikah padahal sebetulnya mereka masih bisa menunggu hingga usia 18.

Risiko yang dihadapi bukan hanya soal kematangan fisik, namun juga finansial yang akan didapatkan.

"Kalau 16 tahun sudah menikah, upah yang akan mereka terima tentu upah (selevel) SMP bukan upah SMA. Selisih ini yang akan dia bawa sampai pensiun. Itu kerugian dari sisi income, belum kerugian yang lain," katanya.

Sonny mengatakan bahwa stunting merupakan permasalahan yang kompleks yang harus diselesaikan secara komprehensif. Yang paling penting saat ini, kata dia, mempersiapkan supaya remaja sehat demi masa depan yang lebih baik.

"Kita rencanakan usia penikahan. Kalau bisa wajib belajar itu 12 tahun, jangan 9 tahun, supaya terlebih dulu ada pendidikan karakter sejak dini," jelasnya.

Baca juga: Suami Istri Bekerja, dan Rumitnya Membina Rumah Tangga

Related

Pregnancy 9107096500124026186

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item