Fakta dan Masalah Sampah Plastik di Indonesia

 Fakta dan Masalah Sampah Plastik di Indonesia

Naviri.Org - Ini kisah yang mungkin usang, namun masih perlu dipikirkan, karena dampak yang ditimbulkan. Yaitu sampah plastik. Seperti kita tahu, kehidupan sehari-hari kita dikelilingi plastik, dan sepertinya sangat sulit untuk menjauhkan diri dari plastik. Ibu-ibu rumah tangga yang berbelanja di warung atau di pasar, pasti mendapatkan plastik. Kita membeli baju di swalayan, juga mendapatkan plastik.

Di luar contoh atau ilustrasi tersebut, masih ada banyak kesempatan yang memungkinkan kita memperoleh plastik. Bahkan, ada banyak hal di rumah kita yang terbuat dari plastik. Seperti kursi yang terbuat plastik, sampai botol shampo yang terbuat dari plastik. Semua itu kemudian menjadi sampah plastik. Karenanya, sampah plastik tidak hanya datang dari kantong plastik yang biasa diperoleh di pasar atau swalayan, tapi juga dari kemasan-kemasan berbahan plastik.

Pada saat ini, masalah sampah plastik sudah sangat mengkhawatirkan, termasuk di Indonesia. Sampah ini menggunung dan terus menggunung. Persoalan makin rumit, karena plastik tidak mudah terurai, berbeda dengan sampah organik.

Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, dalam Jurnal Science, di 2015 membeberkan hasil penelitiannya mengenai jumlah sampah plastik yang masuk ke laut. Dari estimasi 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik produksi 192 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, diperkirakan terdapat antara 4,8-12,7 juta MT masuk ke lautan lepas.

Dari jumlah tersebut, Indonesia menjadi peringkat kedua negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, yaitu sebesar 3,2 juta MT. Tiongkok menempati urutan pertama sebesar 8,8 juta MT, dan disusul oleh Filipina di peringkat ketiga yaitu sebesar 1,9 juta MT.

Keadaan geografis Indonesia yang memiliki garis pantai panjang turut memberikan kontribusi terhadap banyaknya sumbangan sampah ke lautan. Namun tentu yang paling menentukan adalah produksi sampah plastik itu sendiri. Masyarakat di wilayah pesisir banyak memakai produk-produk kemasan plastik terutama kemasan plastik ukuran kecil.

“Banyak masyarakat yang hidup di wilayah sekitar pantai di Indonesia. Daya beli mereka membuat konsumsi kemasan sachet di wilayah pesisir menjadi banyak,” kata Jenna Jambeck.

Kondisi ini diperparah dengan belum adanya alternatif kemasan lain selain plastik untuk menjangkau pusat perbelanjaan. Sementara itu, kebanyakan masyarakat pesisir tinggal jauh dari akses perbelanjaan dan membutuhkan media pengemas produk secara praktis. Sehingga plastik pun menjadi pilihannya. Padahal keberadaan sampah plastik di lautan selain makin sulit terurai, sampah plastik menjadi ancaman bagi kehidupan hewan laut dan ekosistem terumbu karang.

Sayangnya cara-cara untuk mengatasi sampah plastik di Indonesia belum konsisten, seperti program uji coba diet kantong plastik yang tak dilanjutkan.

Koordinator Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Rahyang Nusantara, menyatakan, sebagai negara penyumbang sampah plastik yang cukup besar, Indonesia dianggap telat memberlakukan regulasi pembatasan kantong plastik. Apalagi, regulasi tersebut dianggap kurang kuat karena hanya berbasis surat edaran, untuk program uji coba diet kantong plastik.

Uji coba terbatas dan pemberlakuan serempak program plastik berbayar tahap pertama pernah berlangsung mulai 21 Februari hingga 31 Mei 2016 berbekal Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.

Kebijakan ini awalnya terinspirasi dari sampah plastik hasil dari 100 toko/gerai anggota APRINDO selama 1 tahun menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik. Jumlah tersebut sama dengan luasan 65,7 hektar kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepakbola.

Uji coba program ini pernah berlaku di 22 kota Indonesia. Namun, surat edaran ini hanya berlaku hingga 31 Mei 2016 dan diputuskan untuk diperpanjang dengan surat edaran kedua Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK No. SE/8/PSLB3/PS/PLB.0/5/2016.

Sayangnya terdapat jeda waktu selama sebulan antara surat edaran pertama dengan surat edaran kedua. Dalam jeda itu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menghentikan kebijakan plastik berbayar. Kantong plastik berbayar berhenti sementara selama sebulan dan dilanjutkan lagi pada 1 Juli 2016.

Setelahnya, saat masa berlaku surat edaran kedua sudah habis, Aprindo kembali memberhentikan program kantong plastik berbayar mulai 1 Oktober 2016 sampai dengan diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Plastik Berbayar.

“Sudah setahun proses uji coba (plastik berbayar) digulirkan dan masyarakat butuh kepastian regulasi. Padahal dengan Rp200 saja kita bisa kurangi konsumsi (plastik) hingga 55 persen,” kata Rahyang.

Kepastian payung hukum memang menjadi persoalan dari program diet kantong plastik. Padahal program ini terbukti efektif, berdasarkan survei YLKI pada Maret 2016 di 25 gerai dari 15 nama ritel terkemuka di wilayah DKI Jakarta.

Survei ini mencatat sudah ada penurunan jumlah konsumsi kantong plastik pada konsumen, dengan rata-rata penggunaan kantong plastik per konsumen per transaksi adalah kurang dari 3 kantong. Meskipun hasil survei tersebut mendapati masih kurangnya edukasi diet kantong plastik kepada masyarakat. Sehingga, banyak masyarakat belum mengetahui tujuan utama kebijakan ini.

Pemerintah dan ritel malah menuai kritikan terhadap transparansi dana kantong plastik yang ditarik dari konsumen oleh peritel. Misalnya soal penggunaan kantong plastik pada ritel ditetapkan minimal Rp200 per lembar kantong plastik. Jumlah tersebut sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN), mekanisme penjualan biasa, dan dana hasil penjualan dikelola oleh ritel sebagai CSR.

Mekanisme ini yang kemudian dipertanyakan oleh sebagian konsumen. Ada yang beranggapan, seharusnya CSR merupakan kewajiban ritel yang tidak boleh dibebankan pada konsumen. Selain itu, bila ingin menghentikan konsumsi sampah plastik, seharusnya ritel sama sekali tidak menyediakan kantong belanja plastik. Dilema ini akhirnya membuat program diet kantong plastik menggantung tanpa kelanjutan, ditambah tak ada payung hukum yang pasti.

Menggantungnya program diet kantong plastik kontra produktif dengan target pemerintah untuk mengurangi 1,9 juta MT sampah plastik pada 2019. Penanganan sampah plastik tak cukup bermodal pencanangan tapi butuh langkah nyata untuk memastikan gunung sampah plastik bisa terpecahkan.

Baca juga: Indonesia, Negara Kedua dengan Sampah Terbanyak di Dunia

Related

Insight 5562928492828463792

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item