Catcalling, Public Shaming, dan Warisan Masa Silam

Catcalling, Public Shaming, dan Warisan Masa Silam

Naviri.Org - Catcalling sebenarnya bukan hal baru, tapi istilah tersebut tampaknya belum terlalu populer. Begitu pula public shaming, sama-sama bukan hal baru, meski istilah itu juga baru-baru ini mulai populer. Keduanya, catcalling maupun public shaming, adalah perilaku-perilaku yang sampai saat ini masih dilakukan orang-orang di zaman modern, padahal keduanya adalah warisan masa silam yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Pernahkah Anda berjalan di jalanan yang lengang, lalu seorang atau beberapa orang asing bersiul, dan melontarkan kalimat yang mengganggu tanpa merasa risih atau malu? Jika Anda menjawab "pernah", maka Anda tak sendirian. Perilaku yang dilakukan orang asing macam itu disebut catcalling, tindakan menggoda, melecehkan dan memanggil (umumnya terjadi pada perempuan) di pinggir jalan dengan tendensi seksual dan merendahkan.

Catcalling dianggap sebagai tindakan mempermalukan, dan biasanya disebut public shaming. Anda tidak perlu digiring telanjang untuk merasa malu, takut, dan terhina. Public shaming bukanlah sesuatu yang baru, dan catcalling hanyalah satu di antaranya.

Public shaming adalah bentuk hukuman sosial yang diberikan masyarakat kepada mereka yang dianggap melanggar tatanan atau moral dalam masyarakat tersebut, kepada seorang pelaku kejahatan atau seorang terdakwa.

Pada zaman perbudakan, orang kulit hitam sebagai budak yang melanggar kode etik akan mendapatkan hukuman dari majikannya. Pada 1944 di Paris, perempuan-perempuan yang tertuduh bekerja sama dengan Nazi akan dibotaki dan diarak keliling kota.

Taliban di Afghanistan, ISIS di Iraq, dan Boko Haram di Nigeria, memberlakukan hukum berdasar syari'at Islam seperti hukum rajam (melemparkan batu kepada seorang tertuduh hingga mati).

Larissa Tracy, penulis buku Torture and Brutality in Medieval Literature, mengatakan bahwa public shaming adalah hukuman abad pertengahan untuk memberikan stigma terhadap tertuduh, terutama bagi perempuan, dan ia (perempuan) kerap berjalan sendirian.

Dalam kisah Game of Thrones, serial televisi drama fantasi Amerika produksi HBO, menyodorkan penonton sebuah penebusan dosa Cersei Lannister. Penebusan dosa yang dikatakan High Sparrow sebagai bagian penghukuman Faith of the Seven. High Sparrow menawarkan pencerahan di tengah kemiskinan spiritualitas dan di tengah kebengisan dan kelaliman sosok Cersei Lannister.

Setelah rambut Carsei dipangkas habis, ia dibawa bersama High Sparrow dan Septa Unella ke depan King’s Landing. Dibacakan dosa-dosa dan pengampunan dari Cersei Lannister lalu dilepaskannya pakaiannya. Septa Unella membunyikan bel mendorong Cersei ke jalanan dan meneriakkan: "Shame!"

Cersei tak dapat menghindar sedikit pun. Ia harus rela dimaki, dilempar, hingga diludahi oleh rakyat King’s Landing. Sekejam apapun sosoknya, setibanya ia di depan istana, ia tersungkur, menangis.

Game of Thrones memang sekadar karya fiksi, tapi Cersei tidak sendiri. Cersei hadir bersama sejarah hukuman pada abad pertengahan dan public shaming lainnya. Dan kisah Cersei, dan juga Mamik, hanya salah dua di antara rangkaian kisah mengerikan lain dalam hal mempermalukan perempuan.

Cersei, tentu saja, seorang penjahat utama Game of Thrones. Meski Cersei secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab untuk banyak kejadian horor dari kisah Westeros, adegan penghakiman publik yang disebutkan sebelumnya sesungguhnya dimaksudkan untuk mengumpulkan simpati bagi karakter Cersei yang sebelumnya dibenci.

Pada akhirnya kita justru melihat kengerian dari kekerasan yang dilakukan masyarakat.


Related

Insight 3955852386714278338

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item