Mengapa Sebagian Orang Suka Kepo Urusan Orang Lain?

Naviri.Org - Kepo adalah istilah yang biasa digunakan anak muda zaman sekarang untuk menyebut “hasrat ingin tahu” atau “usil”. Orang yan...

Mengapa Sebagian Orang Suka Kepo Urusan Orang Lain?

Naviri.Org - Kepo adalah istilah yang biasa digunakan anak muda zaman sekarang untuk menyebut “hasrat ingin tahu” atau “usil”. Orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain, atau suka usil dengan kehidupan pribadi orang lain, dapat disebut orang kepo atau orang yang suka kepo. Di zaman internet seperti sekarang, orang yang suka kepo tidak hilang, tapi justru makin kelihatan.

Belum lama, misalnya, ada gerakan bernama CELUP, yang merupakan singkatan “Cekrek, Lapor, Update”. Gerakan itu mengajak orang-orang agar memergoki orang lain yang sedang pacaran untuk kemudian difoto, dan fotonya diunggah di akun milik CELUP. Mereka mengusung slogan, “Pergokin Yuk! Biar Kapok!”

Sekilas, gerakan itu mungkin terdengar bagus. Tapi yang mereka lakukan sudah masuk pada pelanggaran privasi orang lain. Apalagi dengan mengunggah foto orang lain tanpa izin, dengan maksud mempermalukan.

Mengapa ada sebagian orang yang suka kepo atau usil dengan urusan pribadi orang lain?

Tentu ada alasan mengapa orang begitu gatal mengurusi hal privat orang lain. Dari sisi psikologi, konselor dan terapis dari San Jose, Sharon Martin, LCSW, menyatakan dalam PsychCentral bahwa orang yang sering melanggar batasan privasi orang lain cenderung manipulatif, narsistik, dan punya kesadaran diri yang rendah. Seorang narsisis akan menganggap sekitarnya lebih tak berharga darinya dan tidak merasa bersalah ketika berlaku tidak baik kepada orang lain.

Sementara menurut Michael Stocker dan Elizabeth Hegeman yang menulis buku Valuing Emotions (1996), pelanggaran privasi berkaitan dengan minimnya rasa empati dan apresiasi kepada orang lain.

Sering kali, karena merasa punya ikatan darah atau menyandang status sebagai pasangan, seseorang merasa sah-sah saja menguak sebanyak-banyaknya informasi terkait orang lain. Padahal, selain menjadi makhluk sosial, manusia juga merupakan individu yang membutuhkan ruang pribadi yang tidak terjamah pihak luar.

Ambil contoh kasus tentang seorang ibu yang terus mengamati dan mengendalikan tindak-tanduk anak remajanya yang mulai berpacaran. Seiring bertambahnya usia, kesadaran seseorang tentang kebutuhan privasi terus menanjak. Campur tangan orangtua akan dirasakan sebagai hal yang meresahkan.

Namun, tidak semua orangtua sadar bahwa mengurusi hal pribadi anaknya adalah sesuatu yang tidak baik. Beberapa di antara mereka justru berpikir, “Yang saya lakukan adalah menyelamatkan anak saya”. Setali tiga uang dengan argumen penggagas CELUP yang mau ‘menyelamatkan ruang publik’ dari ancaman berupa tindakan asusila.

Fenomena mengurusi hal pribadi orang lain juga tumbuh subur di arena digital. Sedikit banyak, kehadiran teknologi baru ini membentuk pola perilaku orang. Media sosial adalah ruang di mana batasan antara privat dan publik menjadi kabur. Hal-hal privat yang disebarkan di internet telah kehilangan makna personalnya yang penuh.

Konten digital, terlebih di akun yang tak terkunci, menjadi bagian dari ranah publik—di mana warganet mana pun bisa menjelma menjadi polisi atau narapidana bila menyerempet nilai-nilai moral dan kesusilaan yang berlaku di tempat dia berpijak.

Faktor lain yang mendorong orang mengurusi hal pribadi orang lain adalah konformitas. Ketika ia berada di lingkungan yang pemikirannya sejalan, aksi mencampuri atau menghakimi kehidupan personal orang lain seolah mendapat sokongan amunisi secara psikologis.

Tidak peduli orang lain yang dihakimi itu datang dari latar belakang seperti apa, meyakini nilai-nilai apa. Selama tidak seiring dengan yang dominan atau paham yang dipunyai orang itu, maka kegiatan mengurusi hal personal orang lain akan dinormalisasi. 

“Tubuhku Otoritasku” Vs. “Tubuhmu Kepunyaan Masyarakat”

Kesadaran tentang “tubuhku otoritasku” telah menjadi bagian kampanye sejumlah aktivis, baik di ranah online maupun offline. Akan tetapi, hal ini mesti menghadapi tantangan besar untuk diwujudkan. Di tengah budaya kolektif, tubuh seseorang masih dianggap bukan kepunyaannya sendiri seutuhnya.

Dalam Discipline and Punish (1977), filsuf Perancis Michel Foucault menyampaikan bahwa tubuh seseorang adalah tubuh sosial yang tidak lekang dari kontrol pihak berkuasa. Lihat saja bagaimana aturan-aturan di negeri ini—baik dari hukum positif maupun norma agama—mengatur perkawinan, perzinaan, serta pornografi.

Sebagai gambaran, salah satu ilustrator perempuan Indonesia, Candrika Soewarno, sempat kerap memublikasikan karya-karya seni erotisnya di Instagram. Banyak yang mengapresiasi, tetapi tidak sedikit juga yang mencemooh. Satu dari sekian komentar mencemooh mengangkat isu Candrika—sebagai perempuan, ibu, dan warga negara di tempat yang mengamini Ketuhanan—tidak selayaknya mengunggah konten seksual di media sosial.

“Bagaimana kalau anak kamu sudah dewasa dan melihat gambar-gambar kamu ini?” demikian salah satu komentar kontra yang mendatangi Candrika.

Di sini, dapat dilihat bahwa pemberi komentar menilai Candrika bukanlah individu yang bisa merdeka mengekspresikan seksualitasnya; dirinya selalu dikaitkan dengan posisi dalam keluarga dan masyarakat.

Baca juga: Mengapa Anak Zaman Sekarang Memilih Nikah Muda?

Related

Psychology 1987779532609043939

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item