Menakar Baik-Buruk Soal Curhat di Media Sosial

Menakar Baik-Buruk Soal Curhat di Media Sosial

Naviri.Org - Semua orang suka curhat atau mencurahkan isi hati, dengan harapan pikiran bisa sedikit ringan. Itu kecenderungan umum yang terjadi di mana-mana, bahkan sejak zaman dahulu kala. Di masa lalu, banyak orang—khususnya remaja dan anak muda—yang suka menulis di buku diary, mencatatkan hal-hal yang ingin ia tumpahkan. Kini, ketika internet dan media sosial telah menjadi bagian hidup sehari-hari, urusan curhat pun pindah ke media sosial.

Jika curhat di buku diary bersifat lebih personal, karena tidak ada orang lain yang membaca, curhat di media sosial bersifat publik, karena siapa pun bisa ikut membaca. Tampaknya, orang-orang yang suka curhat di media sosial menyadari hal itu, bahkan berharap mendapatkan simpati dari orang-orang lain yang membaca curhatnya.

Kita tentu telah berkali-kali menemukan orang, khususnya artis, yang curhat blak-blakan di media sosial, terkait hubungannya dengan seseorang, atau terkait rumah tangganya. Seorang wanita yang bermasalah dengan suami, misalnya, curhat di media sosial, mengeluhkan suaminya. Dan lain-lain semacamnya, yang biasanya menarik perhatian banyak orang, karena kebetulan yang curhat itu memang artis atau orang terkenal.

Mengapa mereka suka curhat di media sosial, bahkan untuk urusan yang bersifat pribadi, seperti masalah rumah tangga?

Aksi-aksi meluapkan emosi di media sosial didorong oleh sejumlah alasan. Dilansir The Times of India, perasaan terluka atau kemarahan seseorang mendorong orang-orang untuk menuliskan cerita personal mereka di internet. Saat kesabaran orang tandas, platform-platform media sosial hadir sebagai medium yang melanggengkan emosi negatif.

Sebuah penelitian di Cina juga menyatakan, kemarahan lebih cepat disebarkan di dunia online dibanding emosi lain seperti kesedihan atau kegembiraan.

Karakteristik media baru yang memungkinkan cepatnya respons diterima juga memicu pemilihan media sosial sebagai tempat meluapkan emosi. Ketika orang menuliskan pengalamannya di media sosial, yang diharapkan adalah seluruh mata pengikut akunnya tertuju kepada dia.

Validasi eksternal berupa ungkapan simpati atau dukungan sampai popularitas adalah hal yang mungkin dikejar mereka yang gemar berkisah tentang hal privatnya di media sosial. Mereka ingin mengukuhkan kubu, lantas dengan ‘kekuatan’ yang ada, menyerang balik pihak yang dianggap merugikan. Bukan tidak mungkin pula aksi mempermalukan ‘si musuh’ dilakukan kemudian lantaran terciptanya solidaritas dari status atau caption yang diunggah.

Pemilihan media sosial sebagai diary masa kini juga dikarenakan orang-orang bisa sepuasnya membeberkan hal-hal yang menyinggung mereka tanpa perlu menyebutkan pihak bersangkutan alih-alih mengonfrontasi langsung. Ada konsekuensi-konsekuensi tertentu yang harus dihadapi begitu meluapkan unek-unek di depan muka pihak bersangkutan, inilah yang ingin dihindari si penggemar curhat di media sosial.

Efek samping curhat di media sosial

Sama seperti diary zaman lawas, media sosial berperan sebagai wadah katarsis ketika orang sedang mengalami emosi-emosi tertentu. Menyalurkan isi kepala dan perasaan memang menjadi jalan yang positif bagi kesehatan jiwa. Akan tetapi, hal ini malah menjelma bumerang saat reaksi khalayak luas yang membaca status berisi unek-unek mereka tidak seperti yang diharapkan.

Saat yang menghampiri adalah hujatan atau kritikan, para pengunggah status curhatan akan menghadapi konflik internal yang semakin besar. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Masalah pribadi yang ada belum terselesaikan, mereka harus siap menghadapi masalah baru yaitu penghakiman para pengikutnya, atau bahkan publik luas.

Mengungkapkan kemarahan di media sosial sebenarnya juga tidak akan membuat orang merasa lebih baik pula. Dalam PBS, tercatat pendapat Ryan Martin, profesor psikologi di University of Wisconsin-Green Bay, yang mengamati efek pelepasan emosi di situs-situs yang diperuntukkan bagi pengguna internet yang ingin melontarkan unek-unek.

Ia menyatakan, pelepasan emosi di sana hanya berefek sementara. Alih-alih emosi mereda, orang yang membaca kembali ekspresi kemarahannya yang diunggah di internet cenderung makin marah.     
Sementara menurut John Suler, pakar psikologi dari Rider University, keluhan-keluhan yang dilontarkan di dunia online bisa berujung pada emosi negatif lain di kemudian hari seperti rasa malu dan bersalah. “Mengapa saya dulu menulis status marah dan tidak terkendali seperti ini, ya?” adalah pikiran yang mungkin muncul beberapa waktu setelah konflik yang dihadapi mereda.   

Tidak hanya perkara hubungan saja yang jamak dibahas saat seseorang mengeluhkan sesuatu di media sosial. Perkara pekerjaan juga disinggung oleh para penggemar curhat online ini. Akibat tindakan ini bisa sangat signifikan: teguran dari pihak kantor yang mengikuti akunnya atau citra buruk bagi kantor yang ada di benak para pengikut lain yang pada akhirnya dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja.

Saat rekam jejak pernah marah-marah atau mengeluhkan kehidupan kantor di media sosial menyebar, bukan mustahil pula pemberi kerja lain atau rekan-rekan seseorang mengecapnya dengan label buruk atau tidak profesional.

Baca juga: Mengapa Ada Banyak Orang Kecanduan Facebook?

Related

Lifestyle 7465063088971917521

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item