Fakta di Balik Bitcoin yang Jarang Diketahui

Fakta di Balik Bitcoin yang Jarang Diketahui

Naviri.Org - Sebagian kalangan sedang mengalami demam Bitcoin, yaitu hasrat yang menggebu untuk mendapatkan Bitcoin, yang tentu diharapkan bisa memberi keuntungan. Maklum saja, nilai Bitcoin saat ini sangat tinggi, bahkan nilainya melebihi nilai mata uang konvensional. Orang yang telah memiliki Bitcoin sekian tahun lalu mendapatkan banyak keuntungan dari kepemilikan tersebut, karena nilai Bitcoin hari ini jauh lebih tinggi dibanding sekian tahun lalu.

Yang mungkin jarang dipikirkan kebanyakan orang adalah proses mendapatkan Bitcoin, dan bagaimana mata uang digital itu diperoleh. Sebagai mata uang virtual, Bitcoin ditambang menggunakan komputer. Proses penambangan itu membutuhkan komputer bertenaga tinggi, dan itu artinya membutuhkan daya listrik yang juga besar.

Alex de Vries, konsultan dari PwC dan pendiri situs Digiconomist (sebuah situs analisis Bitcoin), melakukan perhitungan yang menyoal dampak lingkungan dari aktivitas penambangan dan transaksi Bitcoin sebagai mata uang digital. Alex melakukan estimasi penggunaan energi listrik Bitcoin dengan melihat penghasilan dari para penambang Bitcoin, kemudian melihat pengeluaran mereka dalam pembayaran listrik.

Saat ini, perhitungan Digiconomist mengklaim aktivitas penambangan global Bitcoin menghabiskan 36,63 Terawatt-jam (TWh) energi listrik pada 31 Desember 2017. Pada tanggal yang sama, penggunaan listrik Bitcoin mendekati angka konsumsi listrik Bulgaria. Menurut estimasi ini juga, setiap transaksi Bitcoin menghasilkan 146,97 kg karbon dioksida.

Relasi antara Bitcoin dan emisi karbon dioksida yang buruk untuk lingkungan dibentuk karena pemanfaatan energi dari pembangkit listrik batu bara oleh fasilitas penambangan (produksi Bitcoin melalui tenaga komputasi) Bitcoin.

Menurut studi oleh Hilman dan Rauch (2017) dari University of Cambridge, 58 persen fasilitas penambangan Bitcoin berlokasi di Cina. Negara yang konsumsi energinya masih didominasi oleh tenaga pembangkit listrik batu bara yang murah, tetapi buruk untuk lingkungan mengingat jumlah emisi karbon dioksidanya yang besar. Dalam satu jam, 1 kilogram CO2 dapat diproduksi oleh pembangkit listrik tenaga batu bara.

Dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa penambangan mata uang digital di Cina mengonsumsi paling banyak energi listrik jika dibandingkan negara lain untuk mencapai 111 Megawatt. Provinsi Sichuan bahkan sudah menjalin kerja sama dengan pembangkit listrik tenaga air untuk memberikan biaya listrik yang murah.

Tak hanya penambangan, dari segi transaksi Bitcoin juga diklaim tidak efisien dalam konsumsi energi jika dibandingkan dengan metode transaksi lain seperti Visa atau Ethereum (mata uang digital jenis lain). Bitcoin diestimasikan mengonsumsi sebanyak 200 kilowatt-jam energi listrik per transaksi, dibandingkan dengan Visa yang hanya menggunakan 0,1 kWh, dan Ethereum yang membutuhkan 37 kWh.

Sebagai konteks, menurut estimasi dari Teunis Brosens, seorang ekonom dari ING Think, 200 kWh merupakan konsumsi energi listrik selama empat minggu di Belanda dengan rata-rata penggunaan 45 kWh per minggu.

Mengapa Bitcoin boros listrik?

Secara sederhana, salah satu cara untuk mendapatkan Bitcoin adalah dengan melakukan penambangan, yaitu memecahkan kode persamaan hash—jika berhasil menjadi yang pertama memberikan solusi persamaan ini melalui perangkat komputer, ia akan mendapatkan imbalan berupa block dari Bitcoin. Saat ini, Bitcoin baru diproduksi 10 menit sekali oleh sistem komputerisasinya.

Ketika melakukan penambangan ini, dibutuhkan sistem komputer dengan kemampuan prosesor yang tinggi, yang berarti membutuhkan konsumsi energi yang juga tinggi. Saat ini, para penambang harus menggunakan mesin khusus bernama Application Specific Integrated Circuit (ASIC). Selain itu, mengingat sistem penambangan Bitcoin yang menguntungkan buat mereka yang tercepat, para penambang Bitcoin juga bersaing satu sama lain untuk menambah kemampuan komputer yang mereka miliki.

Penggunaan teknologi komputasi yang canggih juga diperlukan mengingat Bitcoin bukan mata uang digital baru, dan peredaraannya sudah bertambah banyak, mengingat euforia mengenai nilainya. Untuk itu, proses perhitungan persamaan hash juga semakin rumit, yang akhirnya juga membutuhkan tenaga komputerisasi yang tak main-main.

Meski begitu, tak semua teknologi blockchain (teknologi yang menjadi basis Bitcoin) memerlukan proses komputasi yang intensif. Misalnya, ada proses verifikasi transaksi lain bernama proof-of-stake dalam teknologi blockchain yang tidak perlu berebut, melainkan telah ditunjuk oleh sistem dan dilakukan secara bergantian. Prosedur verifikasi ini jauh lebih efektif secara energi listrik, karena tak perlu berlomba-lomba memecahkan persamaan matematika.

Dalam studi Hilman dan Rauch (2017) yang sama, diterangkan bahwa penggunaan komputer super canggih yang membutuhkan tenaga listrik yang besar diperlukan untuk menjaga keamanan transaksi Bitcoin sebagai mata uang digital yang terdesentralisasi di luar aturan bank. Untuk itu, prosedur penambangan berbasis persamaan matematika yang rumit menjaga sistem Bitcoin dari para peretas.

Perhitungan Alex de Vries terhadap konsumsi energi Bitcoin telah juga dikritik oleh Christian Catalini, asisten Profesor di Massachusetts Institute of Technology, yang ahli di bidang inovasi teknologi, wirausaha, dan manajemen strategis. Dalam wawancaranya untuk Washington Post, ia menjelaskan bahwa tren penggunaan energi yang besar oleh Bitcoin tidak akan terus berlanjut.

“Alasan para penambang beinvestasi begitu besar di Bitcoin adalah mereka ingin mendapatkan token yang nilainya akan meningkat dalam waktu yang akan datang. Untuk itu, mereka bersedia untuk berinvestasi dalam hal modal dan biaya listrik untuk menang dalam kompetisi memproduksi Bitcoin ini,” kata Christian kepada Washington Post.

Ia menjelaskan—mengingat Bitcoin memiliki jumlah maksimal keping yang beredar yaitu 21 juta—ketika jumlah Bitcoin yang bisa didapatkan berkurang, nantinya para penambang harus beralih ke biaya transaksi untuk mendapat keuntungan.

Sebagai respons terhadap tuduhan mengenai penambangan Bitcoin yang tak ramah lingkungan, saat ini telah ada start-up bernama HydroMiner yang mengklaim menggunakan energi yang dapat diperbarui untuk menambang Bitcoin. Para penambang ini menggunakan 600 Kilowatt tenaga dari pembangkit listrik tenaga air di pengunungan Alpen di Austria. 

Baca juga: Penyebab Bitcoin Sulit Jadi Alat Pembayaran

Related

Money 2459064029501471018

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item