Berdasarkan Studi, Semua Orang Pernah Berbohong

Berdasarkan Studi, Semua Orang Pernah Berbohong

Naviri.Org - Apakah Anda pernah berbohong? Jika menjawab “tidak”, artinya Anda sedang berbohong. Karena semua orang pernah—sebagian bahkan sering—berbohong. Faktanya, kita semua pernah berbohong.

Ada berbagai macam dan latar belakang mengapa orang berbohong, dan nyatanya orang memang kadang menghadapi situasi atau kondisi tertentu yang mau tak mau membuatnya berbohong. Skala kebohongan yang dilakukan orang per orang pun bisa beragam, dari yang kecil sampai yang besar, dari yang biasa sampai yang berbahaya.

Bella DePaulo, psikolog sosial di Universitas California, pernah melakukan penelitian sekitar dua dekade lalu. DePaulo dan para koleganya meminta 147 orang dewasa mencatat setiap kali mereka berbohong. Hasilnya, seperti dikutip oleh National Geographic, para subjek ini rata-rata berbohong satu hingga dua kali dalam sehari.

Kebohongan ini juga punya skala. Dari yang kecil seperti berbohong soal buang sampah, hingga serius seperti menyembunyikan perselingkuhan dari pasangan atau klaim palsu saat pendaftaran kuliah.

Tak semua motif kebohongan atau penipuan berlandaskan uang. Bisa jadi untuk membangun reputasi. Universitas Maryland pernah mengadakan survei tentang pengalaman kuliah para mahasiswa. Jawaban itu kemudian dicocokkan dengan catatan kuliah mereka. Hasilnya cukup bikin garuk kepala.

Hanya 2 persen yang mengaku lulus dengan IPK lebih rendah dari 2,5. Padahal, kenyataannya, ada 11 persen responden yang lulus dengan IPK di bawah 2,5. Hasil lain: ada 44 persen yang mengaku pernah menyumbang untuk kampus, padahal hanya 28 persen yang menyumbang. Ini membuktikan kebohongan dilakukan untuk membuat mereka merasa lebih baik, atau terlihat lebih baik.

National Geographic baru-baru ini membuat laporan menarik tentang kebohongan. Salah satu bagian dari laporan ini adalah grafik berisi alasan-alasan orang berbohong. Alasan terbesar, yakni 22 persen, adalah untuk menutupi kesalahan. Perenang Olimpiade asal Amerika Serikat, Ryan Lochte, pernah melakukannya tahun lalu. Ia mengaku dirampok. Padahal, ia dan kawan-kawannya mabuk dan ditangkap oleh petugas keamanan.

Alasan lain perkara keuntungan finansial. Dalam skala tertentu, kebohongan berlandaskan motivasi ekonomi bisa menjelma jadi kejahatan tak terperi. Mereka hidup mewah selagi para korban merana. Ponzi, Madoff, pasangan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan dari First Travel, adalah penipu seperti itu.

Sebagian orang melakukan penipuan karena ingin membuat orang terkesan. Masih ingat kasus Arya Pradana, anak muda Indonesia yang mengaku sebagai dokter di Real Madrid?

Kisahnya dimuat di banyak media besar Indonesia. Tapi ternyata klaimnya adalah kebohongan, dan terbongkar saat seorang anggota forum terkenal di Indonesia melakukan penelusuran. Beberapa orang juga rela membayar demi mendapat penghargaan dari lembaga abal-abal, tak lain karena ingin membuat dirinya seolah-olah penting dan diakui.

Dunia media sosial memberikan babak baru perkara kebohongan dan penipuan. Di satu sisi, media sosial menjadi pabrik kebohongan alias hoaks yang disebar macam propaganda. Lincah. Gesit. Bikin bergidik. Namun, di sisi lain, media sosial bisa membuat kebohongan dan penipuan terbongkar dengan cepat.

Percayalah, ada banyak orang yang dengan senang hati meluangkan waktu untuk membongkar berbagai macam kebohongan itu.

Baca juga: Mengapa Sebagian Orang Suka Kepo Urusan Orang Lain?

Related

Psychology 9008035875240873872

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item