Pro-Kontra di Balik Industri Streaming Musik

Pro-Kontra di Balik Industri Streaming Musik

Naviri.Org - Zaman memang sedang mengalami masa peralihan, khususnya dari zaman non-digital ke zaman digital. Generasi ’90-an ke belakang tentu akrab dengan kaset pita, compact disc atau CD, atau bahkan piringan hitam. Hal-hal itu adalah sarana untuk mendengarkan dan menikmati musik. Karenanya, orang-orang di masa lalu pun banyak yang menjadi kolektor kaset, atau kolektor CD dan piringan hitam.

Tetapi, kini, zaman telah mulai berubah. Musik tidak lagi dikemas dalam bentuk fisik seperti CD dan kaset, melainkan dalam bentuk digital. Peralihan ini, bagi sebagian pihak, memunculkan masalah baru.

Bagi penikmat musik secara luas, mungkin tidak terlalu mempermasalahkan peralihan musik non-digital ke digital. Dengan kata lain, mau didengarkan di kaset atau CD atau lewat streaming, musik bagus akan tetap bagus, lagu yang enak didengar akan tetap enak didengar. Karena itulah, banyak orang yang berlangganan streaming musik dari penyedia layanan seperti Spotify, dan lain-lain.

Tetapi, bagi pihak industri, kenyataan ini rupanya menimbulkan polemik.

Terkait industri streaming musik yang kini semakin marak, ada beberapa kritik, bahkan boikot, terhadap layanan ini. Salah satunya datang dari artis yang sedang naik daun, Taylor Swift. Dia menarik semua katalog lagunya dari Spotify. Menurut Swift, moda bisnis Spotify masih berupa eksperimen dan mereka tidak membayar artisnya dengan layak.

"Aku tidak bersedia menyumbangkan karyaku untuk sebuah eksperimen, yang menurutku tidak memberikan kompensasi layak terhadap penulis, produser, artis, dan pencipta lagu," kata Swift. "Dan aku tidak setuju persepsi bahwa musik seharusnya gratis."

Swift juga pernah mengancam akan melakukan hal yang sama pada Apple Music. Tapi setelah Apple Music merevisi aturan terkait pembayaran dan royalti, Swift membatalkan keputusannya. Yang berada dalam barisan Swift, antara lain ada Thom Yorke, si jenius di balik Radiohead. Menurutnya, sistem pembayaran industri streaming akan sangat merugikan artis-artis baru.

"Streaming itu seperti kentut terakhir, kentut terakhir yang sangat putus asa dari seorang yang sedang sekarat," katanya pedas.

Pola bisnis streaming bahkan juga diragukan oleh musisi seperti Beck. Meski dia sadar bahwa model bisnis seperti ini tak terhindarkan, dia masih mengeluhkan jumlah pembayaran untuk para musisi. Masih terlalu kecil, katanya. "Kalau aku mencoba membuat album dari pembayaran Spotify, ya tak akan cukup."

Tapi kritik-kritik pedas ini juga diimbangi oleh dukungan dari banyak musisi. Dari Bono, misalkan. Menurut vokalis U2 ini, musuh musisi zaman ini adalah tidak transparannya industri musik. Dalam pandangan musisi asal Irlandia ini, industri musik sedang ada dalam fase eksperimen. Sudah melewati masa kejayaan album fisik, namun masih belum menemukan dan masih mencari seperti apa formula terbaik untuk penjualan musik digital.

"Maka dari itu, mari bereksperimen. Mari melihat bagaimana hasilnya," katanya dalam ajang Web Summit, ajang konferensi teknologi terbesar di Eropa.

"Kenapa banyak musisi memilih Spotify, karena mereka menyerahkan 70 persen pendapatan kepada pemilik hak cipta," sambung penyanyi bernama asli Paul David Hewson ini. "Tapi para musisi itu tidak tahu ke mana uang itu pergi karena label rekaman tidak pernah transparan."

Terlepas dari segala pro dan kontra tentang industri streaming ini, benar apa kata Beck: bentuk ini tak bisa dihindari. Jika sekarang adalah masa eksperimen, maka streaming adalah bentuk eksperimen terbaik saat ini. Sebelum nantinya, mungkin, akan ada bentuk yang lebih baik.

Baca juga: Era Internet dan Bisnis Musik di Zaman Digital 

Related

Music 5463649088579702330

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item