Vladimir Putin, Si Tangan Besi dari Rusia

Vladimir Putin, Si Tangan Besi dari Rusia

Naviri.Org - Di masa lalu, Rusia pernah dijuluki negeri Tirai Besi, karena kecenderungannya menutup diri dari kalangan internasional. Kini, Rusia dipimpin oleh seorang presiden yang menjalankan pemerintahan dengan tangan besi, atau berkecenderungan diktator. Siapa lagi kalau bukan Vladimir Putin.

Vladimir Putin telah memerintah Rusia selama lebih dari 20 tahun. Selama bertahun-tahun, dari pemilu ke pemilu, dia terus mencalonkan diri, dan kembali memenangkan pemilu hingga bisa menjadi presiden lagi, dan begitu seterusnya, sampai saat ini. Keberhasilan Putin dalam menjadikan dirinya sebagai pemimpin Rusia tampaknya tidak dilandasi keberhasilannya, melainkan lebih pada cara dia mendapatkannya. Yaitu dengan tangan besi. Putin tidak segan menyingkirkan siapa pun yang mencoba menghalangi jalannya.

Pada Minggu (24/12/2017) lalu, misalnya, panitia khusus pemilihan Rusia secara resmi melarang pemimpin kelompok oposisi, Alexei Navalny, untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden dalam ajang pemilihan 2018. Pihak panitia beralasan, Navalny memiliki riwayat pelanggaran hukum di masa lampau dan oleh karenanya tidak bisa maju dalam ajang pemilihan. Ini artinya, satu lawan Putin telah tersingkir.

Kepala Komisi Pemilihan Umum Pusat Rusia, Ella Pamfilova, telah mengingatkan berulang kali bahwa Navalny tidak dapat maju dalam pemilihan sebab ia pernah dipenjara. Akan tetapi, pihak panitia tetap mengizinkannya mengirimkan berkas serta menyerahkan nasib Navalny pada prosedur resmi.

Begitu keputusan diumumkan, Navalny langsung menyerukan boikot pemilu yang bakal diselenggarakan pada Maret tahun depan. “Kami menyatakan mogok. Kami akan minta semua orang untuk memboikot pemilihan ini dan kami takkan mengakui hasilnya,” katanya di hadapan sekitar 750 pendukung.

“Anda [Putin] telah mengubah negara ini jadi sapi perah pribadi, untuk kolega dan keluarga Anda. Itu sebabnya Anda tak seharusnya jadi presiden lagi. Itu mengapa Anda seorang presiden yang buruk,” seru Navalny seperti dikutip Aljazeera. “Hanya Putin dan calon-calon yang ditunjuk Putin yang ikut pemilu. Mencoblos sama artinya dengan memilih kebohongan dan korupsi,"

Vladimir Putin yang telah berkuasa sejak tahun 1999 mengumumkan kepada publik bahwa ia mencalonkan dirinya lagi sebagai presiden untuk masa jabatan enam tahun berikutnya, terhitung sejak 2018.

Gagalnya Navalny maju dalam pemilihan presiden semakin menebalkan anggapan bahwa Putin tak ragu menggembosi kekuatan kelompok oposisi. Navalny yang digadang-gadang jadi saingan berat Putin jika bertanding pada pemilihan 2018, nyatanya musti menerima kenyataan pahit tersingkir dari gelanggang dengan cara yang dibuat-buat.

Jika ditelisik lebih jauh, Navalny bukan sosok oposisi pertama yang disikat Putin. Sejak berkuasa, Putin memang dikenal bertangan dingin menyikat siapapun yang dianggap mengganggu pemerintahannya. Baik dengan cara “halus” hingga “kasar,” dari kalangan pengusaha kaya sampai para aktivis anti-pemerintahan.

Pada 2000, saat Putin pertama kali menjabat presiden, ia memutuskan untuk membatasi gerak-gerik kelompok oligarki—orang kaya Rusia yang memberi pengaruh besar terhadap politik dan media. Korban pertamanya adalah Vladimir Gusinsky, pemilik jaringan NTV yang saat itu kerap mengkritik kebijakan pemerintahan; terutama kebijakan perang di Chechnya.

Kremlin sempat meminta Gusinsky untuk mengubah editorial pemberitaannya agar tak selalu menyudutkan pemerintah. Karena Gusinsky menolak, pemerintah menuduhnya telah melakukan penipuan. Dengan alasan keamanan, Gusinsky pun pindah dari Rusia.

Kemudian, ada nama Mikhail Khodorkovsky, mantan kepala perusahaan minyak Yukos. Setelah purna tugas, ia menyuarakan tuduhan kepada Putin dan koleganya yang melakukan korupsi secara masif. Khodorkovsky lalu ditangkap dan dibui selama satu dekade atas tuduhan penghindaran pajak dan penipuan. Sekarang ia mengasingkan diri ke Swiss.

Kelompok punk-feminis, Pussy Riot, juga pernah jadi sasaran Putin. Mereka didakwa dua tahun penjara akibat dianggap bertindak “anarkis” yang didorong “rasa benci agama” usai tampil dalam pentas punk bertema anti-Putin pada Februari 2012. Sementara Sergei Udaltsov, pemimpin gerakan protes sayap kiri, mendekam sebagai tahanan rumah karena menyiarkan video yang dianggap pemerintah mengandung hasutan dan kebencian.

Nasib serupa juga dialami mantan juara dunia catur, Garry Kasparov, yang dikenal sangat vokal kepada Putin dan kroni-kroninya. Ia didakwa bersalah atas kasus kekerasan terhadap aparat saat aksi protes pada 2012, dan dihukum lima tahun penjara. Meski demikian, Kasparov memilih meninggalkan Rusia dengan alasan agar terus bisa menjalankan aktivisme politiknya.

Jalan para oposisi tak selalu berakhir di kurungan penjara. Beberapa bahkan ada yang harus merengang nyawa akibat suara protes yang terus digaungkan. Mantan Wakil Perdana Menteri Rusia, Boris Nemtsov, misalnya. Pada 2015, peluru menembus tubuh tokoh oposisi anti-Putin tersebut. Nemtsov tak terselamatkan. Putrinya meyakini ada campur tangan Putin di balik meninggalnya sang ayah.

Selanjutnya adalah Alexander Litvinenko. Mantan petinggi Badan Keamanan Federal (FSB) serta agen KGB ini tewas akibat diracun polonium radioaktif, saat ia berada di London pada 2006. Litvinenko memang dikenal kritis terhadap Putin. Kematiannya diduga karena ia melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan reporter surat kabar oposisi Novaya Gazeta, Anna Politkovskaya, yang semasa hidupnya konsisten melancarkan kritik atas kebijakan Rusia di Chechnya.

Baca juga: Siapa pun Bisa Mati di Rusia

Related

Insight 4186806898935297620

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item