Vladimir Putin, dari Mata-mata Menjadi Penguasa Rusia

Vladimir Putin, dari Mata-mata Menjadi Penguasa Rusia

Naviri.Org - Politik, tampaknya, memang membutuhkan intrik yang sering kali harus licik. Karena dengan cara itulah seseorang bisa mempertahankan atau meningkatkan kekuasaannya, sekaligus melibas lawan-lawannya. Hal serupa terjadi di Rusia, negara yang telah menempatkan seorang presiden hingga lebih dari 20 tahun. Siapa lagi kalau bukan Vladimir Putin.

Vladimir Vladimirovich Putin telah berusia 65 tahun, dan telah memimpin Rusia selama 24 tahun. Lamanya waktu itu pun belum tentu telah memuaskan Putin berkuasa. Karena, begitu masa kekuasaannya berakhir, ada kemungkinan dia akan mempersiapkan kekuasaan untuk periode selanjutnya, dan banyak pihak yang telah memastikan hal itu. Karenanya, kekuasaan Putin di Rusia tampaknya masih akan panjang.

Memang, pada saat ini, Putin bukanlah presiden atau pemimpin politik yang paling lama memimpin negaranya. Bahkan, Putin hanya nomor 21 dalam daftar pemimpin politik non-kerajaan yang paling lama memimpin sebuah negara. Putin masih kalah jauh dari Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, yang telah memimpin negara pecahan Soviet itu sejak 1984.

Putin juga masih kalah dibandingkan dengan Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, yang telah menjadi presiden sejak 1992. Masa kepemimpinannya bahkan masih tergolong singkat ketimbang Alexander Lukashenko, Presiden Belarusia yang telah menjadi pemimpin politik negara itu sejak Juli 1994.

Namun tetap saja: 24 tahun adalah 24 tahun. Di negeri yang telah mengadopsi demokrasi elektoral sebagai cara kerja pemilihan pemimpin politiknya, angka tersebut tergolong sangat lama. Terlebih, yang dipimpin Putin bukanlah Kazakhstan, Tajikistan, ataupun Belarusia. Putin memimpin Rusia, negara yang “menguasai” ketiga negara yang disebut sebelumnya itu.

Pertanyaannya: bagaimana bisa Putin mempertahankan kekuasaannya dalam waktu yang sebegitu lama?

Putin, yang oleh Economist disebut sebagai Tsar Abad 21, memulai perjalanan kariernya sebagai seorang pegawai intelijen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) usai lulus kuliah hukum di Leningrad State University pada 1975.

Di KGB, Putin bertugas di divisi kontra-intelijen dan pengawasan diplomat asing di Moskow sampai 1995. Setelah itu, ia menjadi mata-mata selama enam tahun di Dresden, Jerman Timur, dengan menyamar sebagai penerjemah. Baru saat Tembok Berlin runtuh pada 1989, dan Soviet mengalami perpecahan politik, Putin kembali ke tanah kelahirannya, St. Petersburg, dan mundur dari KGB dengan pangkat Letnan Kolonel.

Setelah itu, perjalanan politik Putin baru benar-benar dimulai. Ia menjadi penasihat wali kota St. Petersburg, Anatoly Sobchak, dalam bidang hubungan internasional sampai 1996, sembari aktif di partai politik Our-Home Russia buatan Perdana Menteri Viktor Chernomyrdin.

Di tahun 1996, Putin berpindah ke ibu kota Rusia, Moskow. Di situ, dia menempati beberapa posisi seperti Wakil Kepala Departemen Manajemen Properti Presiden (hingga Maret 1997); Wakil Kepala Staf Kepresidenan (hingga Mei 1998); dan ditunjuk oleh Presiden Boris Yeltsin menjadi direktur Federal'naya sluzhba bezopasnosti Rossiyskoy Federatsii (FSB)—badan intelijen penerus KGB—hingga Agustus 1999.

Pintu politik pertama 

Karier Putin melejit pesat. Sebelum dipilih sebagai direktur FSB, di 16 Agustus 1999 ia juga terpilih sebagai Perdana Menteri Federasi Rusia—perdana menteri kelima dalam satu setengah tahun terakhir. Putin pun, sejatinya, tak diharapkan untuk bertahan lebih lama ketimbang para pendahulunya.

Namun Putin berbeda. Ia dengan mudah mendekatkan diri, meski tak pernah secara resmi bergabung, dengan Unity Party, partai baru yang meraih posisi dua dalam popular vote pemilu se-Rusia. Terlebih, dengan posisinya yang tegas dan keras dalam masalah pemberontakan Chechnya, popularitas Putin semakin meningkat meninggalkan para pesaingnya.

Maka, ketika Boris Yeltsin tiba-tiba mundur sebagai presiden Rusia di malam tahun baru 2000, tak ada lagi yang bisa menghadang laju Putin sebagai penguasa Rusia. Sesuai dengan peraturan Konstitusi Rusia 1993, perdana menteri akan menggantikan posisi presiden dan menggelar pemilu presiden dalam waktu tiga bulan.

Perdana Menteri ke Presiden 

Menjadi Pelaksana Tugas (PLT) Presiden Rusia hanyalah awal bagi dominasi Putin di Rusia. Saat para pesaingnya bersiap melakukan pemilu presiden di bulan Juni, mundurnya Yeltsin berarti pemilu dimajukan menjadi Maret 2000, ketika itu Putin menang sekali putaran dengan 53 persen suara.

Bertahan sampai 2004 tak menjadi masalah buat Putin. Dari 2000 sampai 2004, popularitasnya secara stabil relatif meningkat. Di tahun 2000, angka popularitas dan penerimaan masyarakat Rusia hanya mencapai 61 persen. Sementara, di akhir periode pertama, angka tersebut naik menjadi 83 persen.

Peristiwa penyanderaan Teater Moskow oleh kelompok teror Chechnya yang merenggut 170 korban jiwa hanya memperkuat posisi Sang Inkumben. Putin, yang saat itu mengambil langkah keras nan kontroversial untuk menghentikan penyanderaan (plus serangan balasan ke kelompok teror Chechnya), dianggap sebagai pemimpin yang berani mengambil risiko.

Bahkan, jatuhnya korban sipil akibat senjata yang digunakan pasukan antiteror khusus Rusia (menggunakan gas beracun) untuk melumpuhkan para teroris, tak dialamatkan pada Putin. Presiden George W. Bush, misalnya, menyebut meninggalnya korban itu “haruslah disalahkan kepada para teroris”.

Maka, pemilihan umum presiden tahun 2004 hanyalah formalitas serah terima jabatan, dari Putin kembali ke Putin. Ia terpilih lewat pemilu satu periode dengan perolehan 71 persen suara.

Meski popularitasnya sempat turun di 2005 karena mengurangi jumlah tunjangan para pensiunan, tak ada hambatan berarti sampai ia menyelesaikan periode keduanya menjadi presiden. Di 2008, popularitasnya naik mengalahkan catatan 2004, yaitu mencapai 84 persen.

Saat itu, yang menjadi pertanyaan justru bagaimana Putin mempertahankan kekuasaan setelah 2008? Konstitusi Rusia jelas melarang seseorang untuk menjadi presiden untuk tiga periode berturut-turut. Apakah Putin rela mundur sama sekali saat popularitasnya tengah tinggi-tingginya?

Jelas tidak. Desember 2007, tiga bulan sebelum pemilu dimulai, Putin secara terbuka mendukung Dmitry Medvedev untuk menggantikan posisinya sebagai presiden Rusia.

Usaha Putin untuk mendorong popularitas Medvedev ini pun telah dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Tepatnya di 2005, ia ditunjuk Putin sebagai Deputi Pertama Perdana Menteri Rusia.

“Saya sudah mengenalnya dengan sangat dekat lebih dari 17 tahun. Dan saya sepenuhnya mendukung pengajuan dirinya sebagai presiden,” ucap Putin soal Medvedev, (10/12/2007), seperti dilansir The Guardian.

Dan benar saja. Medvedev, yang juga didukung oleh partai United Russia yang selama ini mendukung Putin, berhasil menjadi presiden pada 7 Mei 2008. Seperti dilansir Telegraph, perolehan suaranya di pemilu cukup fantastis, yaitu mencapai 70 persen.

Yang lucu, Medvedev adalah salah satu orang terdekat Putin dalam politik Rusia. Ia pernah menjadi manajer kampanye Putin saat dia maju menjadi presiden di tahun 2000. Dikutip dari RFERL, posisi politik Medvedev sebagai kepala sekretariat kabinet dan deputi pertama perdana menteri juga merupakan “hadiah” dari Putin.

Maka, tak mengherankan apabila keputusan paling pertama yang dibuat Medvedev adalah menunjuk Vladimir Putin sebagai perdana menteri, membuat sang kolega tetap berada di puncak kepemimpinan politik Rusia.

Keputusannya ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan. Sebenarnya, siapa pemimpin politik Rusia yang asli? Medvedev sebagai presiden, ataukah ia hanya boneka Putin yang menjabat perdana menteri?

Pertanyaan ini, rupanya, terlontar cukup sering. Sampai-sampai, pada 2009 ia harus menekankan pada publik bahwa dialah bos Rusia yang sesungguhnya. “Saya adalah pemimpin negara ini. Saya kepala negara ini. Dan pembagian kekuasaaan berdasarkan fakta tersebut,” ucap Medvedev dikutip dari Reuters.

Namun, apa yang dibilangnya tak mesti sesuai dengan apa yang terjadi. Ini dicontohkan dengan upayanya mengamandemen konstitusi Rusia yang baru terbentuk pada 1993.

Pada 5 November 2008, atau hanya lima bulan setelah dilantik, Medvedev mengajukan perubahan konstitusi agar masa presidensial dinaikkan menjadi enam tahun ketimbang empat seperti sebelumnya.

Cerdiknya, seperti dikutip dari The Guardian, Medvedev juga menginginkan agar masa kepengurusan anggota State Duma (seperti DPR di Indonesia) diperpanjang dari empat tahun menjadi lima tahun. Maka, permohonan amendemen konstitusi itu lancar saja didukung oleh State Duma yang hasil votingnya menang mutlak 388-58 suara.

Padahal, perpanjangan masa presiden itu tak langsung berlaku di masa Medvedev berkuasa. Lalu, siapakah yang memanen perpanjangan masa kuasa presiden itu?

Jawabannya, lagi-lagi, Vladimir Vladimirovich Putin.

Sempat menjadi pertanyaan, bagaimana Putin dan Medvedev akan bertarung dalam satu arena pemilihan presiden Rusia 2012, mengingat keduanya didukung satu partai yang sama—United Russia.

Pertanyaan tersebut terjawab di September 2011. Jelang berakhirnya masa pemerintahan Medvedev, ia dan Putin buka-bukaan kepada publik dunia bahwa Putin akan kembali maju menjadi presiden sementara Medvedev mundur.

“Saya akan berterus terang bahwa kesepakatan soal apa yang harus kami lakukan ini sudah tercapai sejak waktu yang lama, beberapa tahun lalu,” ucap Putin seperti dikutip Telegraph, (24/9/2011).

Medvedev sendiri hanya mengamini. “Vladimir Vladimirovich dan saya sering sekali ditanya: kapan Anda berdua akan memutuskannya? Kadang-kadang kami ditanya, apakah kalian berdua pernah berkelahi?” ucap Medvedev memulai. “Saya ingin mengonfirmasi apa yang baru saja kami putuskan: bahwa apa yang kami ajukan ke kongres (tentang pengajuan Putin), adalah keputusan yang sudah dipikirkan masak-masak.”

Licin benar. Seperti yang diduga, dalam pemilu presiden 2012, Putin—yang tetap aktif di pemerintahan dan tetap tinggi popularitasnya—menang telak dari lawan-lawannya dengan perolehan suara 63,6 persen.

Manuver Tsar Putin

Memasuki tahun kuasanya yang ke-17, Putin tetap kuat mencengkeram konstelasi politik negeri. Persentase popularitasnya masih berada di angka 80 persen, sangat tinggi apabila dibandingkan dengan, misalnya, presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang hanya mencapai 35 persen.

Capaian tersebut tak didapat Putin dengan mudah. Beberapa rintangan dan kritik sempat ia hadapi, meski tak satu pun yang benar-benar mengancam posisinya. Salah satunya adalah kasus tuduhan korupsi ekspor metal di tahun 1992 senilai 93 juta dolar AS, yang dimunculkan kembali oleh Marina Salye—seorang politisi senior Putin dari St. Petersburg—saat Putin menjadi perdana menteri untuk pertama kali di 1999.

Hasilnya? Ketimbang Putin yang angkat kaki dari politik Rusia, Marina Salye yang justru harus pindah dari St Petersburg. Seperti dikutip dari The New York Times, tuduhan pada Putin dibatalkan, dan Salye harus pindah ke Pskov—daerah terpencil 260 kilometer di barat daya St Petersburg—karena merasa terancam dengan kekuasaan Putin.

Gangguan juga pernah datang dari Anna Politkovskaya, seorang jurnalis Novaya Gazeta, yang menyibak korupsi militer Rusia dalam operasinya di Republik Chechnya. Pada 7 Oktober 2006, ia ditembak mati di apartemennya, tepat pada hari ulang tahun Putin.

Kematiannya menimbulkan banyak kritik dari internasional, di mana Putin dinilai tidak mampu melindungi media independen yang punya kritik jitu kepada pemerintahannya. Sepuluh tahun sejak kematian Politskovkaya, semakin jarang media yang berani menyinggung isu sensitif yang berkenaan dengan politik Kremlin.

Bahkan, menurut Komite Perlindungan Jurnalis, dari 2006 hingga Oktober 2016 lalu, ada 20 jurnalis yang dibunuh dan 63 serangan yang ditujukan pada wartawan.

Kuasa atas media dalam negeri itu juga terbukti di tahun 2003. Tak suka dengan pemberitaan saluran televisi NTV dalam kasus penyanderaan Teater Moskow, seluruh manajemen NTV diganti dengan wajah baru pada Januari 2003. Hasilnya, pemberitaan dari televisi tersebut langsung berubah menjadi lebih pro-Putin.

Ini belum menghitung bagaimana Gazprom Media—media holding anak perusahaan raksasa minyak Gazprom yang sejak 2005 menempatkan Medvedev sebagai wakil kepala direksinya—melakukan pencaplokan banyak media dalam negeri Rusia. Total, ada enam saluran televisi, sembilan stasiun radio, tiga surat kabar, satu penyedia internet, dan empat perusahaan bioskop yang menjadi miliknya.

Kematian orang-orang yang berani melawan Putin itu adalah gambaran sempit bagaimana Putin telah berkuasa penuh di segala lini kehidupan Rusia. Dan antek-anteknya, macam Medvedev, punya andil besar dalam hal ini.

Selain mengubah masa kuasa presiden menjadi enam tahun, ia pada 2009 juga mengajukan penggantian mekanisme pengajuan Hakim Agung; dari yang sebelumnya diajukan oleh para hakim dan disetujui State Duma, menjadi dipilih presiden dengan persetujuan State Duma.

Maka, tak hanya media, hukum pun sebenarnya hanya bisa mendengar dan berkata “Ya” terhadap segala yang Tsar Vladimir Vladimirovich Putin kehendaki.

Baca juga: Rudal Setan, Senjata Rusia Paling Mengerikan

Related

Insight 4979510434543087734

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item