Kisah Para Wanita Pemberontak yang Inspiratif

Kisah Para Wanita Pemberontak yang Inspiratif

Naviri.Org - Selama bertahun-tahun, bahkan selama berabad-abad, banyak buku, cerita, juga film, yang menggambarkan hubungan khas antara pria dan wanita. Pria digambarkan sebagai pahlawan, sementara wanita digambarkan sebagai putri lemah yang menunggu kedatangan sang pahlawan.

Kisah semacam itu bisa dibilang klise, karena telah diulang di berbagai buku cerita dan dongeng di mana-mana, dari masa ke masa. Tanpa disadari, kisah atau dongeng semacam itu kemudian menjadikan banyak orang punya stereotipe yang khas, menganggap pria sebagai pahlawan yang aktif, sementara wanita hanya putri yang pasif. Dan stereotipe itu pun berkembang di dunia nyata.

Beberapa wanita di zaman ini kemudian gelisah oleh adanya stereotipe semacam itu, dan mereka membuat buku dongeng yang menunjukkan bahwa wanita pun bisa menjadi pahlawan. Good Night Stories for Rebel Girls adalah judul buku tersebut, yang kemudian terkenal di dunia.

"Tersebutlah kisah, di suatu masa, seorang bocah perempuan yang sangat mencintai sekolah."

Begitulah awal kisah nyata Malala Yousafzai, remaja Pakistan pemenang Nobel, yang ditembak Taliban tahun 2012. Kisah Malala dipaparkan dalam buku Good Night Stories for Rebel Girls (Dongeng Pengantar Tidur bagi Para Gadis Pemberontak).

Buku tersebut menggunakan gambar-gambar ilustrasi dan cerita yang dituturkan bagai dongeng, tentang 100 perempuan inspiratif dari seluruh dunia untuk mengajar anak-anak perempuan agar memberontak terhadap norma-norma gender untuk mengejar impian mereka.

Di media sosial, para keluarga mengisahkan pendapat anak-anak mereka tentang perempuan-perempuan pemberontak itu.

Malala Yousafzai ditembak oleh Taliban pada tahun 2012, usai berkampanye hak-hak perempuan untuk bisa bersekolah.

Brynn Maddox, bocah berusia lima tahun yang tinggal di Chicago, terpukau oleh kisah Manal al-Sharif, seorang aktivis hak-hak perempuan yang dijuluki 'perempuan yang berani mengemudi' karena menantang aturan larangan mengemudi bagi para perempuan di Arab Saudi.

"Brynn terus bertanya 'Jadi mereka tidak membolehkan dia untuk mengemudi?’ Saya jawab, 'Iya, itu benar.' Brynn pun tersenyum senang, sambil berujar ‘Tapi ia tetap mengemudi'," katanya seperti ditirukan ibunya, Patti.

Brynn begitu terinspirasi oleh sosok Manal, sampai ia melukis wajahnya, lalu Patti sang ibu mengirimkan gambar Brynn kepada Manal.

Bintang lain yang diprofilkan dalam buku tersebut adalah pesenam remaja Amerika, Simone Biles, yang membuat dunia kagum dan terpesona lewat gaya memutar dan melompatnya di ajang Olimpiade 2016.

Namun buku tersebut memuat juga sejumlah perempuan yang kurang dikenal, antara lain Grace Hopper, seorang ilmuwan Amerika pelopor di bidang komputer, dan wartawan yang menjadi atlet angkat besi, Amna Al Haddad, dari Uni Emirat Arab. Atlet angkat besi Amna Al Haddad lahir di Uni Emirat Arab pada tahun 1989.

Dua penulis Italia, Elena Favilli, 34 tahun, dan Francesca Cavallo, 33 tahun, adalah dua sosok yang bertanggung jawab atas buku yang tenar di AS tersebut. Melalui kampanye pengumpulan dana warga pada 2016, mereka berhasil mengumpulkan US$1 juta (Rp13 miliar).

Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Elena menjelaskan bahwa gagasannya muncul untuk pertama kalinya ketika mereka menyadari bahwa buku anak-anak masih dikemas dengan stereotip gender tradisional.

"Buku-buku anak-anak tidak berubah sejak kami masih anak-anak. Tokoh laki-laki masih protagonis, dan para perempuan masih hanya ditampilkan sebagai putri belaka," jelasnya.

Kesenjangan representasi laki-laki dan perempuan dalam buku anak-anak sudah lama menjadi masalah. Pada 2011, para akademisi di Florida State University menemukan bahwa bias gender dalam buku-buku tersebut sudah ada selama lebih dari 100 tahun.

Mereka mengidentifikasi bahwa di dalam setiap 6.000 buku bergambar yang diterbitkan antara tahun 1900 dan 2000, hanya 7,5% yang menggambarkan tokoh protagonis perempuan. Padahal, buku serta gambar sangat penting dalam menentukan bagaimana nantinya anak-anak melihat dan memahami dunia.

Pada saat mereka berusia enam tahun, anak-anak perempuan biasanya menganggap diri mereka kurang berbakat atau 'kurang cemerlang' dibanding anak laki-laki, menurut penelitian yang dipublikasikan pada Januari 2017.

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa anak berusia enam tahun, baik perempuan maupun laki-laki, cenderung mengidentifikasi tokoh yang benar-benar cerdas dalam buku dongeng adalah lelaki, dan bukan anak perempuan.

"Jika yang dibaca oleh semua anak adalah tentang putri yang menunggu untuk diselamatkan oleh seorang pangeran, maka pesan yang mereka pelajari adalah perempuan tidak seberharga laki-laki, bahwa kita tidak setara dengan laki-laki," kata Elena.

Namun, Elena dan Francesca bukanlah pengarang buku yang pertama kali mendalami masalah ini. Pada 2015, psikolog Amerika, Stephanie Tabashneck, menerbitkan sebuah buku mewarnai yang menampilkan gadis-gadis dari beragam etnis yang berprofesi sebagai dokter bedah, profesor dan insinyur, setelah ia bosan melihat perempuan terus menerus digambarkan sebagai putri.

Ahli pendidikan Prof Gemma Moss menyebut, buku berjudul Princess Smartypants karangan Babette Cole adalah contoh lain dari cerita yang menentang norma-norma lama tentang perempuan.

Tapi, Elena dan Francesca yakin bahwa penekanan mereka pada kehidupan nyata perempuan pemberontak yang menantang norma-norma sosial memberikan pesan penting kepada anak-anak yang sering hanya membaca kisah para gadis dalam dongeng.

"Secara historis, prestasi dan pencapaian perempuan diabaikan," kata Elena. "Pemberontak memiliki konotasi negatif di semua budaya, biasanya dianggap buruk bagi seorang perempuan. Pesan kami adalah, merupakan hal yang baik-baik saja, dan bahkan hebat jika perempuan bisa melanggar aturan-aturan."

Aksi para feminis

Robyn Silverman, seorang ahli perkembangan anak di New Jersey, setiap malamnya membacakan cerita pengantar tidur bagi anak-anaknya Tallie (8 tahun) dan Noah (6 tahun) dari buku itu.

Ia membeli buku tersebut saat lahirnya demonstrasi feminis #StillShePersisted, menyusul aksi bungkam Senator AS, Elizabeth Warren, di Senat pada bulan Februari usai membacakan surat yang mengkritik Jeff Sessions, yang saat itu baru dicalonkan sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Donald Trump.

"Saya menuliskan pesan khusus untuk Tallie di buku itu, dan menyemangatinya untuk selalu bangkit," jelas Robyn.

Robyn Silverman mendedikasikan buku untuk putrinya Tallie, dan menuliskan, “Tallie, gadis manisku, mereka mungkin menghalangi jalanmu, mereka mungkin menyuruhmu untuk duduk atau diam. Tapi ingatlah selalu untuk bangkit. Lantangkan suaramu dan tetap teguh.

"Sudah ada yang mengatakan padanya, bahwa 'anak perempuan tidak bisa melakukan hal-hal tertentu’. Tapi dalam buku ini ada contoh konkret perempuan-perempuan yang berjuang untuk pendidikan anak perempuan ketika hal itu ilegal, atau yang berjuang untuk memberikan suara ketika perempuan tidak diperbolehkan terlibat dalam politik. Ini menunjukkan bahwa apa pun yang menghalangi perempuan, kita bisa mengatasinya," kata Silverman.

Robyn mengatakan bahwa putranya juga senang mendengarkan cerita-cerita tersebut. "Ini sangat penting karena laki-laki perlu melihat bahwa perempuan menggunakan keterampilan mereka, dan mengejar impian mereka dengan cara yang sama seperti laki-laki. Ini bukan mengatakan bahwa perempuan lebih baik dari laki-laki."

Elena mengatakan para orangtua lainnya mengatakan kepadanya, betapa putra-putranya juga senang membaca buku itu: "Kita harus mulai dari awal dan menunjukkan kepada anak-anak di usia dini, bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar setara."


Related

Female 7038786557399436975

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item