Pengistimewaan Perempuan dan Soal Diskriminasi

Pengistimewaan Perempuan dan Soal Diskriminasi

Naviri.Org - Perkembangan zaman mengubah banyak hal, termasuk aktivitas perempuan. Di masa lalu, perempuan lebih banyak tinggal di rumah, mengurus anak dan rumah tangga. Namun, di masa sekarang, perempuan juga aktif di luar rumah, bekerja, membangun karier, atau menjalani aneka macam kesibukan di luar rumah.

Kenyataan itu pun menjadikan banyak tempat tidak hanya disesaki oleh kaum laki-laki, tapi juga perempuan. Sarana transportasi semisal bus dan kereta api, misalnya, kini tidak hanya disesaki kaum laki-laki, tapi juga kaum perempuan. Hal ini rupanya menimbulkan beberapa masalah, yang lalu mendorong munculnya sarana transportasi khusus untuk perempuan.

Sejak 2010, PT Kereta Api Indonesia berinisiatif membuat gerbong khusus perempuan untuk Commuter Line—jalur kereta yang menghubungkan Jakarta dan kota-kota penyangga areal Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ini dipandang positif oleh sebagian masyarakat, secara spesifik perempuan yang kerap merasa tidak aman bertransportasi di dalam kota.

Maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan menjadi salah satu faktor utama mengapa pemerintah melalui PT KAI menelurkan kebijakan diskriminatif positif ini. Catatan yang dihimpun LBH APIK tahun 2009, dari dokumentasi sejumlah media, menunjukkan terdapat 1.058 pengaduan terkait kekerasan terhadap perempuan. Dari angka ini, terdapat 80 pengaduan yang tergolong tindak pidana umum (termasuk pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, penipuan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan).

Kebijakan transportasi yang berpihak pada perempuan diterapkan dalam TransJakarta. Kini, tak hanya perempuan bisa menempati ruang khusus dalam bus, tetapi lebih dari itu, mereka bisa mengisi penuh bus yang memang diperuntukkan bagi kaum hawa per 2016 silam meski dengan rute dan jumlah armada terbatas.

Dari sisi instansi swasta, telah banyak ditemukan area parkir khusus perempuan di mal-mal dan gedung perkantoran. Segi pendidikan pun tak kalah dijamah oleh para pemerhati kesetaraan gender. Kesempatan perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi sudah diinisiasi, sebut saja AAUW International Fellowships for Women, Schlumberger Foundation Faculty for the Future Fellowships for Women, dan UNESCO-L’Oreal Fellowships For Women in Science.

Dari sisi politik parlementer, yang juga tak kalah penting, sudah dibuat aturan kuota 30% bagi perempuan untuk terlibat dalam partai politik dan menduduki jabatan sebagai perwakilan rakyat. Ini dimuat dalam Undang-Undang Politik No. 2 tahun 2008 (pasal 2 ayat 2).

Langkah di atas merupakan bentuk-bentuk aksi afirmatif (affirmative action) atau perlakuan khusus yang memberikan keuntungan bagi perempuan.

Memahami aksi afirmatif

Terdapat beberapa definisi mengenai konsep apa yang disebut aksi atau langkah afirmatif. Situs Stanford Encyclopedyia of Philosophy mengartikannya sebagai langkah positif untuk meningkatkan representasi perempuan dan minoritas dalam area pekerjaan, edukasi, dan budaya yang sebelumnya tidak mengeksekusi mereka.

Sementara dalam satu tulisan ilmiah, Kaimenyi et. al. (2013) mengutip definisi dari Dessler (2005) yang memandang aksi afirmatif sebagai upaya mengurangi diskriminasi yang terjadi di masa lampau. Ia mencakup beragam hal seperti keputusan perekrutan kerja, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, dan area lain di ranah publik. Hendri Sayuti (2013) menuliskan pula bahwa aksi afirmatif adalah diskriminasi positif guna mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan.

Aksi afirmatif tak terbatas pada upaya peningkatan peran perempuan dalam pelbagai aspek atau sekadar bentuk pengistimewaan. Cakupan diskriminasi sesuai UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dijabarkan oleh Irma L. Sihite dalam tesisnya, yaitu pembatasan, pelecehan, dan pengucilan. Maka perlindungan dari pelecehan yang kerap menimpa perempuan pun termasuk dalam gol aksi afirmatif semacam ruang-ruang khusus bagi perempuan dalam moda transportasi.

Pro dan kontra

Tidak semua orang sepakat bahwa diskriminasi positif ini adalah hal baik. Mereka yang kontra memandang kebijakan ini melanggar prinsip keadilan, persamaan, dan kesempatan demokratik. Seyogyanya, laki-laki dan perempuan berkompetisi tanpa perlu adanya arus pengistimewaan. Alhasil, langkah afirmatif dianggap bentuk diskriminasi baru.

Di samping itu, mereka yang memandang tak perlu adanya kebijakan ini berargumen bahwa tak semua perempuan menginginkan perlakuan khusus. Ini malah memperkuat stigma bahwa perempuan memang kaum yang lemah dan tidak bisa berkompetisi tanpa privilese semacam ini.

Sebaliknya, di sisi pendukung, langkah afirmatif dianggap perlu karena adanya latar belakang perlakuan diskriminatif terhadap perempuan di masa lalu. Praktik diskriminasi dalam pelbagai aspek membuat ruang gerak perempuan terbatas. Selain itu, langkah afirmatif dipandang sebagai alat untuk mempromosikan keberagaman dan representasi proporsional dari pelbagai elemen sosial.

Namun demikian, selama pekerjaan besar mengikis atau bahkan menghapus budaya patriarki, yang menjadi akar dari tindak diskriminatif terhadap perempuan belum terpecahkan, langkah afirmatif dipandang sebagai solusi jangka pendek untuk mengentaskan ketidaksetaraan gender.

Baca juga: KDRT dan Kekerasan Lain kepada Perempuan

Related

Female 4926502163934994230

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item