Sejarah, Asal Usul, dan Perkembangan Tes IQ

Sejarah, Asal Usul, dan Perkembangan Tes IQ

Naviri.Org - Umumnya, tes IQ berbentuk soal-soal yang membutuhkan kemampuan pikiran atau otak untuk menyerap, memahami, lalu menemukan jawaban atau jalan keluarnya. Dalam hitung-hitungan kasar, semakin cepat dan semakin tepat seseorang menyelesaikan tes IQ yang disodorkan kepadanya, berarti semakin tinggi pula IQ yang dimilikinya.

Tes IQ jamak dilakukan untuk berbagai kepentingan. Mulai dari penilaian kecerdasan siswa sampai keperluan penelitian tentang perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya.

Tes intelegensia ini diperkenalkan pertama kali oleh psikolog Perancis, Alfred Binet, pada awal 1900-an. Pemerintah Perancis saat itu meminta sang psikolog untuk menentukan siswa-siswa mana saja yang mengalami kesulitan belajar di sekolah. Dengan demikian, mereka yang kesulitan belajar dapat diberikan pendampingan khusus.

Binet dan rekannya, Theodore Simon, kemudian membuat tolok ukur psikometri untuk menguji kemampuan siswa yang terkait beberapa hal seperti atensi, memori, dan memecahkan masalah. Ketika standar pengukuran Binet-Simon dibawa ke AS, psikolog Stanford University pun membuat penyesuaian dengan memakai sampel partisipan warga Amerika. Standar tes yang telah disesuaikan ini lantas menjadi patokan tes intelegensi di AS dan dikenal dengan nama Stanford-Binet Intelligence Scale.

Skala kecerdasaan Stanford-Binet bukanlah satu-satunya standar yang dipakai untuk mengukur IQ. Psikolog Amerika, David Wechsler, kemudian mengembangkan instrumen pengukuran kecerdasan yang baru. Senada Binet, Wechsler melibatkan kemampuan mental dalam pengukuran kecerdasan seseorang, termasuk kemampuan berpikir rasional dan menghadapi situasi di lingkungannya. Pengukuran versi Wechler ini dirilis tahun 1955 dan dikenal dengan Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS).

Mengingat cara mengukur kecerdasan anak-anak dan orang dewasa berbeda, Weschler pun merilis tes khusus untuk anak yang dikenal dengan Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) dan Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI). Tes untuk orang dewasanya kini telah direvisi dan dikenal dengan WAIS-IV.

Ada empat area utama dalam WAIS-IV: verbal comprehension index, perceptual reasoning index, working memory index, dan processing speed index. Skor dalam subtes WAIS-IV dikatakan berguna untuk mengidentifikasi kesulitan belajar seseorang.

Sudah barang tentu sebuah penelitian memiliki keterbatasan. Binet mengakui, intelegensi merupakan konsep yang begitu luas dan tidak cukup diukur dengan angka tunggal. Ia bahkan menekankan, intelegensi dipengaruhi oleh banyak faktor, berubah seiring waktu, dan hanya bisa dikomparasi dengan anak-anak berlatar belakang serupa.

Bias budaya dalam pengukuran kecerdasan

Terkait perbedaan skor IQ ini, ada beberapa perspektif menarik tentang hal-hal yang memengaruhinya. Pertama, dari perspektif budaya. Dalam situs American Psychological Association, dimuat sejumlah pendapat pakar psikologi yang menyatakan bahwa terdapat bias budaya dalam pengukuran kecerdasan. Mayoritas standar pengukuran datang dari Barat, lengkap dengan indikator-indikator yang disetel berdasarkan sampel-sampel masyarakat di sana.

Apakah ini berpengaruh terhadap cara pandang mengenai kecerdasan secara umum?

Jawabannya ya, menurut Richard Nisbett, PhD., profesor psikologi dan direktur pada Culture and Cognition Program dari University of Michigan. Nisbett berargumen budaya Asia Timur dan Barat telah berkontribusi terhadap perbedaan pemahaman mengenai kecerdasan.

Orang-orang Barat dikatakannya melihat intelegensi sebagai alat bagi seseorang untuk melakukan kategorisasi dan modal untuk berpikir secara rasional. Sementara di Timur, kecerdasan terkait dengan kemampuan seseorang untuk memainkan perannya dalam kehidupan sosial dan memahami kompleksitas yang ada di masyarakat. 

Pendapat Nisbett ini senada dengan argumen peneliti-peneliti dari National Chi-Nan University, Taiwan. Menurut mereka, orang-orang keturunan Cina memandang intelegensi terkait dengan pemahaman dan hubungan dengan orang lain, termasuk kapan seseorang memperlihatkan dirinya cerdas dan kapan tidak memperlihatkannya. 

Meski berada dalam suatu konteks budaya yang sama, tak serta merta pula orang memiliki level kecerdasan serupa. Kaiping Peng, PhD, psikolog dari University of California, Berkeley, yang sempat bekerja sama dengan Nisbett, beropini, terlalu simplistis jika mengira orang yang berada dalam satu konteks budaya akan mengamini sepenuhnya nilai-nilai budaya yang ada. Menyadari hal ini, bukan hal tidak mungkin untuk menemukan perbedaan level intelegensi pada orang-orang dalam satu budaya yang sama.

Pandangan Peng ini mencoba meruntuhkan stigma-stigma soal kecerdasan yang sering kali ditemukan. Ada yang mengaitkan faktor genetika dengan kecerdasan. Ambil contoh, stigma orang Asia yang pakar dalam bidang matematika. Hanya karena ia berdarah oriental, apakah berarti ia pasti mencetak skor tinggi di bidang tersebut? Tentunya tidak. “Budaya bukan cuma soal ras, kebangsaan, atau kategori sosial lain—budaya adalah suatu bentuk pengalaman,” demikian dinyatakan Peng.

Konsep kecerdasan yang tidak senada dengan patokan Barat juga diungkapkan Robert Serpell, PhD. Penulis buku The Significance of Schooling: Life-Journeys in an African Society (2010) mengungkapkan dalam tulisannya bahwa konsep nzelu di Zambia sejalan dengan konsep kecerdasan dalam terminologi Barat.

Bagi masyarakat A-Chewa di Zambia, seorang anak yang memiliki nzelu prima merupakan anak yang tidak hanya pintar (chenjela), tetapi juga dapat dipercaya (khulupilika), mau mendengarkan, mengerti, dan patuh (mvela), cekatan (changu), dan bisa bekerja sama dengan orang lain (mvana ndi anzake).

Lain lagi dengan perspektif Patricia Greenfield, PhD. dari University of California, Los Angeles. Perempuan ini menilai, pada konteks masyarakat yang anak-anaknya mampu mengakses sekolah formal, kemampuan mengorganisasi lebih tinggi dibanding anak-anak yang tak bersekolah formal. Ini perkara kebiasaan, menurut Greenfield.

Ia juga menambahkan, anak-anak yang berkebiasaan menonton televisi, film, dan video pun mencetak skor kecerdasan dari aspek visual yang lebih tinggi. Sedangkan mereka yang datang dari budaya mengonsumsi media yang lebih menekankan verbal akan lebih unggul skornya dalam aspek kebahasaan.

Baca juga: Memahami Skor IQ, Hingga Kepercayaan pada Hoax

Related

Insight 1278265258636933617

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item