Kesuksesan dan Kontroversi Perusahaan Game Razer

Kesuksesan dan Kontroversi Perusahaan Game Razer

Naviri.Org - Saat ini, Razer dikenal sebagai perusahaan teknologi yang menghasilkan produk-produk canggih (dan mahal) terkait game. Kenyataan itu dilatari oleh sang pendiri, Min Lian Tan, yang merupakan seorang penggemar game. Karenanya, meski ia kuliah di jurusan hukum, dan sempat berpraktik sebagai pengacara, Min Lian Tan akhirnya mengikuti kata hatinya dengan mendirikan perusahaan teknologi gaming yang kini dikenal dengan nama Razer.

Min Liang Tan mendirikan Razer pada 27 Juni 2005, bersama kawan bernama Robert Krakoff. Dengan slogan “for gamers by gamers”, produk andalan Razer ketika pertama kali meluncur hanya sebatas mouse atau tetikus.

Dari sanalah, Razer pelan-pelan menjadi perusahaan besar. Pada 13 November 2017, Razer menjadi salah satu perusahaan rintisan teknologi yang akhirnya melakukan penawaran saham perdana (IPO). Pada pembukaan itu, saham Razer dipatok seharga HK$3,88 yang kemudian melejitkan nilai perusahaan menjadi $4,4 miliar.

Tentu ada perjalanan panjang yang harus dilalui Razer, sebelum akhirnya melakukan IPO. Razer memulai perjalanan di dunia teknologi video game dengan merilis Diamondback, tetikus khusus gaming pada 2005. Pada 2006, bekerjasama dengan Microsoft, Razer kemudian merilis tetikus gaming lainnya, bernama Habu. Setelahnya, sang perangkat ikonik bernama DeathAdder kemudian lahir.

Tahun 2007 merupakan tahun perluasan varian perangkat. Keyboard khusus gaming bernama Lycosa adalah contohnya. Di tahun yang sama, Razer menghadirkan speaker atau pelantang Razer Mako.

Inovasi berikutnya lahir pada 2010. Selepas puas merilis tetikus dan keyboard, Razer kemudian merilis Megalodon, headset yang juga membidik segmen gamer. Pada 2012, Razer merilis Blade, laptop gaming yang diklaim sebagai yang tertipis. Terakhir, perusahaan yang dipimpin sarjana hukum itu merilis ponsel bertajuk Razer Phone.

Selain merilis perangkat berbau gim, Razer pun aktif mengakusisi perusahaan rintisan teknologi lainnya. Tercatat, ada 3 perusahaan yang akhirnya dibeli Razer. Yaitu Nextbit System, THX, dan Ouya.

Rangkaian portofolio Razer itu membuahkan empat kali founding rounds. Intel Capital, firma investasi yang berada di bawah naungan Intel, jadi salah satu pemodal. Tercatat, atas nilai yang dipublikasikan, Razer memperoleh uang senilai $175 juta dari babak pencarian modal itu.

Kritikan pada kualitas

“Kami selalu ingin membuat produk gim fenomenal, bukan hanya periferal tapi segala produk. Itu bisa berbentuk user interface, sistem, dan perangkat lunak,” jelas Tan dalam wawancaranya bersama e27.co. Secara tersirat, Tan ingin menciptakan produk-produk andal.

Sayangnya, keinginan Tan menciptakan produk yang andal menghadapi batu sandungan. Batu itu ialah banyak kritikan terhadap permasalahan build quality Razer. Paling tidak, ini terekam di banyak forum online teknologi internasional.

Di Linux Tech Tips, terdapat thread berjudul “Razer Blade Quality Issues”. Selain itu, pada Tom’s Hardware, muncul thread berjudul “Razer Quality Suck - Fact or Myth”. Lalu, di Notebook Review terdapat perbincangan berjudul “Is Razer QA really that bad?”. Terakhir, di forum online situsweb mereka sendiri, ada obrolan bertajuk “Bad Build Quality Stigma”.

Jika isu soal build quality tak segera diatasi, sangat rawan menggembosi tumbuh kembang perusahaan tersebut. Padahal, harga produk-produk Razer terbilang mahal. DeathAdder contohnya. Mouse tersebut dijual seharga $69,9, atau hampir sejuta rupiah.

Baca juga: Fakta dan Kisah di Balik Lahirnya Ponsel-ponsel Gaming

Related

Business 7716438184714527376

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item