Sachsenhausen, Saksi Bisu Kekejaman Pasukan Nazi

Sachsenhausen, Saksi Bisu Kekejaman Pasukan Nazi

Naviri.Org - Sachsenhausen adalah kamp konsentrasi yang menjadi tempat menampung orang-orang Yahudi yang ditangkap tentara Nazi Jerman, pada masa Perang Dunia II. Kamp bersejarah itu masih berdiri hingga sekarang, sebagai pengingat bahwa sejarah dunia dan peradaban manusia pernah mengenal kekejaman mengerikan, khususnya yang dilakukan oleh pasukan Hitler.

Kamp Sachsenhausen dibangun pada Juli 1936. Seperti yang disebut tadi, kamp itu masih berdiri, dan kini menjadi museum. Di dalamnya masih terdapat aneka hal yang sejak dulu telah ada di sana. Alat peraga penyiksaan dipamerkan di museumnya, termasuk sebuah tiang gantungan yang berdiri di sana. Tak jauh darinya, terdapat sebuah benda menyerupai meja berukuran 60 centimeter x 1 meter.

Warga Yahudi yang “divonis” bersalah oleh tentara SS (Schutzstaffel), dipaksa membungkuk, merebahkan tubuhnya pada meja itu. Sementara itu kedua kaki tetap berdiri, dengan pergelangan kaki yang terpasung pada kotak kayu berlubang dua yang hanya muat untuk dua tungkai kaki kurus kering. Dalam keadaan demikian, petugas SS memukul pinggang tahanan menggunakan tongkat besi sebanyak 25 kali. Dalam beberapa kasus, siksaan itu menyebabkan kerusakan pada ginjal yang menyebabkan kematian.

Penyiksaan tak berhenti pada tiang gantungan atau deraan tongkat besi pada pinggang. Beberapa warga Yahudi yang menghuni kamp konsentrasi dijadikan obyek percobaan para dokter Nazi. Praktik keji itu dilakukan dengan cara menyuntikan bakteri penyebab tuberkolosis (TBC) ke paru-paru tahanan kamp. Membiarkannya dijangkiti penyakit TBC untuk kemudian dijadikan kelinci percobaan pembuatan vaksin anti TBC. Banyak di antaranya yang tewas karena malpraktik tersebut.

Sisa-sisa lokasi percobaan itu masih bisa dilihat pada sebuah klinik yang berdiri tak jauh dari gerbang utama kamp Sachsenhausen. Dua buah bak panjang tempat meletakkan mayat serupa meja bedah berlapis keramik masih berdiri di dalam klinik. Beberapa botol obat berukuran kecil, di antaranya berlogo tengkorak dengan dua tulang bersilang, tersimpan pada rak kaca. Kesaksian-kesaksian mantan tahanan yang berhasil luput dari maut tertera sebagai keterangan langsung tentang apa yang terjadi di sana sepanjang tahun 1936–1945.

Kamp Sachsenhausen adalah model kamp konsentrasi pertama rezim Nazi yang khusus didesain sebagai tempat menghabisi nyawa tahanan. Tak hanya warga Yahudi yang ditahan di kamp ini, kaum komunis, homoseksual dan aktivis politik penentang Nazi bercampur baur dengan tahanan kriminal lainnya.

Di antara ribuan tahanan itu, ada seorang anak Medan yang juga ikut ditahan di sini. Dia Parlindoengan Loebis, dokter lulusan Universitas Leiden, Belanda. Semasa kuliah, Parlindoengan sempat jadi ketua Perhimpunan Indonesia selama tiga tahun. Ketika Jerman menduduki Belanda pada Mei 1940, dia sempat buka praktik umum. Setahun kemudian, Parlindoengan ditangkap oleh Nazi, dikirim ke kamp konsetrasi Sachsenhausen setelah sebelumnya sempat dipenjara di Belanda.

Parlindoengan Loebis luput dari maut. Dia pulang ke Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, menetap di Yogyakarta. Kemudian pada 1956, bekerja sebagai dokter perusahaan di tambang timah Bangka-Belitung dan meninggal pada 1994.

Kisah berhadapan dengan Nazi tak hanya dialami oleh Parlindoengan saja. Irawan Soejono, seorang mahasiswa yang bertugas menangani alat cetak dalam kelompok bawah tanah anti Nazi di Belanda, bernasib lebih naas. Kendati tak sempat masuk ke kamp konsentrasi, dia tewas di ujung senapan tentara Jerman saat kepergok membawa mesin cetak di Leiden. Sejak 4 Mei 1990 namanya diabadikan jadi nama jalan di bilangan Osdorp, Amsterdam: Irawan Soejonostraat.

Fasisme meninggalkan trauma mendalam pada sebagian besar warga Eropa, khususnya pada negeri-negeri yang pernah diduduki Nazi. Beberapa negara di Eropa, seperti Jerman, Austria, Hungaria dan Rumania memberlakukan Undang-Undang Pengingkaran Holocaust (Holocaust Denial). Undang-undang itu melarang orang untuk menggunakan simbol swastika Nazi dan mengkriminalisasi orang yang membela paham fasisme Nazi seraya mengingkari fakta pembunuhan massal terhadap warga Yahudi.

David Irving, seorang sejarawan asal Inggris pernah dijerat dengan undang-undang tersebut karena mengingkari fakta adanya holocaust. Dia menulis buku The Hitler’s War dan menampik tuduhan bahwa Hitler dengan sengaja memerintahkan pembunuhan massal. Pada 1989, Irving dipersona non-grata oleh Pemerintah Austria saat menghadiri sebuah acara di Wina. Kemudian pada 1992 pemerintah Jerman mengadilinya atas tuduhan yang sama dan dihukum denda sebanyak 30 ribu DM serta dilarang masuk ke wilayah Jerman.

Fasisme adalah berita duka bagi umat manusia. Dan cerita duka itu seakan masih terekam pada tiang gantungan; tungku pembakaran mayat dan pagar kawat berduri kamp konsentrasi yang masih tegak berdiri sampai hari ini.


Related

Insight 6759108684297786084

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item