Shifting, Fenomena Peralihan Bisnis dan Gaya Hidup

Shifting, Fenomena Peralihan Bisnis dan Gaya Hidup

Naviri Magazine - Sebagian orang menyatakan bahwa daya beli masyarakat mengalami penurunan, dan hal itu bisa dibuktikan dari banyaknya gerai ritel yang tutup akibat tak laku. Sementara sebagian lain mengatakan, tutupnya gerai-gerai ritel bukan karena daya beli masyarakat yang mengalami penurunan, melainkan karena masyarakat mengubah pola belanja mereka, dari gerai ritel ke toko online. Mana sebenarnya yang benar?

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menyebut, banyak pengusaha yang menyalahkan daya beli rendah ketika usahanya saat ini tidak berkembang bahkan terancam tutup. Padahal, penyebab utamanya bukan daya beli rendah, melainkan adanya fenomena shifting yang terjadi secara luas dan belum dipahami dengan baik oleh para pelaku usaha.

"Pada waktu masalah daya beli ramai ribut di permukaan, kami sedang riset mengenai shifting. Kami tahu persis tutupnya toko-toko itu bukan fenomena daya beli. Ini adalah fenomena yang terjadi secara global, terjadi di seluruh dunia," kata Rhenald saat acara peluncuran buku terbarunya, The Great Shifting, di Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat.

Dampak fenomena shifting yang paling nyata adalah tutupnya toko-toko ritel modern, baik dari brand besar maupun yang kecil. Kebanyakan orang menilai penyebab tutupnya toko ritel modern tersebut karena perpindahan ke online, padahal intervensi online di Amerika Serikat baru sekitar 8 persen, sehingga itu tidak jadi faktor utama.

Menurut Rhenald, fenomena shifting terjadi hampir di semua bidang kehidupan. Namun, shifting itu belum direspons dengan tepat oleh pengambil keputusan, yang berujung pada ketertinggalan usahanya dari pemain-pemain baru yang kebanyakan anak-anak muda.

"Setiap saya bertemu dengan orang-orang tua, para manajer, mereka bilang saya salah, ini adalah masalah daya beli. Tapi, secara diam-diam pemilik perusahaan datang ke kami, katanya direkturnya malas-malas semua, dan mereka sepakat dengan tulisan saya," tutur Rhenald.

Bila daya beli memang rendah, menurut Rhenald, seharusnya semua penjualan dan bidang usaha menurun dan lesu. Jika karena shifting, ada sektor usaha yang turun tetapi sektor lain justru naik karena menampung pasar dari yang turun.

Setidaknya, ada beberapa poin penting Rhenald bersama timnya tentang fenomena shifting. Pertama, produk beralih jadi platform, dan platform mengubah kehidupan secara luas yang menyebabkan banyak produk jadi inferior dan ditinggalkan.

Lalu, shifting mendorong terbentuknya kehidupan baru yang mengandalkan efek jejaring, sehingga mengubah proses produksi yang tak terbatas, bersifat kolaboratif, serta serba sharing. Pada poin ini, Rhenald menekankan dampak pada proses penghancuran pasar existing yang sekaligus menimbulkan efek inklusi bagi semua kalangan.

Kemudian, makna shifting tidak sekadar perpindahan belanja secara offline ke online. Shifting yang paling besar terjadi secara horizontal dan lintas industri, yang mengakibatkan pelaku usaha sulit untuk melacaknya.

"Lintas industri seperti cross shifting dari konsumsi pada barang-barang retail goods ke perjalanan wisata, hiburan, game online, dan asuransi kesehatan," ujar Rhenald.

Baca juga: Indonesia di Bawah Ancaman Perang Dagang dengan Amerika

Related

Business 1069158503540383459

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item