Corporatocracy, Sistem Ekonomi yang Mencengkeram Dunia

 Corporatocracy, Sistem Ekonomi yang Mencengkeram Dunia

Naviri.Org - Istilah corporatocracy (atau korporatokrasi) mungkin tidak/kurang familier bagi sebagian orang, meski mungkin sering dijumpai oleh sebagian orang lain. Kalau kita sering membaca buku atau artikel-artikel terkait bisnis atau ekonomi, atau politik global, istilah corporatocracy bisa jadi sering muncul.

Bagi yang mungkin masih bingung dan bertanya-tanya tentang istilah tersebut, berikut ini adalah uraian mengenai corporatocracy.

Corporatocracy adalah suatu sistem ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh korporasi atau paling tidak oleh kepentingan korporasi. Sejarah corporatocracy dimulai pada tahun 1600-an.

Di antaranya dilakukan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Indonesia, British East India Company di India, Hudson’s Bay Company di Amerika Utara, British South Africa Company di Afrika Selatan, United Fruit Company di Guatemala, Costa Rica, Honduras.

Pembangunan berjalan pesat, birokrasi yang bertele-tele, digantikan dengan efisiensi layaknya korporasi, pelayanan publik efisien dan efektif, bahkan sebagian orang yang merasakan jaman VOC menyebutnya sebagai “zaman normal”. Transportasi kelas Eropa di dalam kota dengan trem, di luar kota dengan jaringan kereta api. Pendidikan kelas Eropa mulai dari HIS, HBS, MULO, AMS. Perkebunan kelas dunia, mulai dari teh sampai pabrik gula.

Namun, zaman normal tidak dapat menutupi perasaan sebagian besar rakyat serasa menumpang di negeri sendiri. Bruce E. Levine, dalam artikel "The Myth of US Democracy and the Reality of US Corporatocracy" di Huffington Post, menyebut rakyat Amerika dikendalikan oleh sistem corporatocracy, yaitu kolaborasi antara korporasi-korporasi besar dan para pejabat pemerintah yang menjadi kolaboratornya.

Jeffrey David Sachs, profesor Universitas Columbia AS, dalam buku 'The Price of Civilization', menjelaskan empat kecenderungan yang melahirkan corporatocracy.  Pertama, lemahnya partai politik dan dominasi beberapa daerah tertentu. Kedua, besarnya pembangunan kekuatan militer AS setelah Perang Dunia 2. Ketiga, besarnya peran korporasi dalam membiayai kampanye pemilu. Keempat, proses globalisasi mengubah keseimbangan industri, semakin melemahkan posisi tawar pekerja.

Edmund Strother Phelps, pemenang Nobel ekonomi tahun 2006, dalam buku ‘Mass Flourishing', mendefinisikan gejala corporatocracy lebih lanjut. Pertama, berbagi kekuasan antara pemerintah dan korporasi besar, misalnya di AS dalam bidang keuangan, kesehatan, dan energi. 

Kedua, meluasnya lobi korporasi dan dukungan korporasi untuk kampanye politik, dengan timbal balik dari pemerintah. Ketiga, meningkatnya pertumbuhan dan pengaruh sektor keuangan dan perbankan. Keempat, meningkatnya konsolidasi korporasi melalui merger dan akuisisi. Kelima, kecenderungan meningkatnya potensi korupsi dan penyimpangan pemerintahan/korporasi. Keenam, tidak berkembangnya wirausaha dan usaha kecil yang dapat menyebabkan stagnasi ekonomi.

Joseph Eugene Stiglitz, profesor Universitas Columbia, AS, dan pemenang Nobel ekonomi tahun 2001, dalam artikel "Of the 1%, by the 1%, for the 1%" di Vanity Fair, menjelaskan banyak ketimpangan ekonomi saat ini yang disebabkan oleh manipulasi sistem keuangan, yang difasilitasi oleh berbagai perubahan regulasi yang “dibeli dan dibayar” oleh industri keuangan itu sendiri. 

Regulator seakan-akan menutup mata terhadap berbagai praktek lemahnya tranparansi dan praktek benturan kepentingan. Regulasi yang telah tergadai itulah, menurut Stiglitz, yang menyebabkan the top 1% menguasai hampir “seperempat” total pendapatan, dan memiliki sekitar 40% kekayaan di AS.

Regulasi yang dianggap menghambat kepentingan korporasi diubah dan disesuaikan dengan kepentingan korporasi. Pembangunan terasa pesat, namun meninggalkan perasaan galau di sebagian besar rakyat. Bukan karena rasa iri si kecil terhadap keberhasilan si besar, namun karena menonjolnya keberpihakan pemerintah pada kepentingan korporasi.

Ada empat keadaan corporatocracy. Pertama, keadaan pemerintah yang lemah berhadapan dengan satu korporasi yang kuat atau kartel beberapa korporasi yang kuat.  Pada periode tahun 1670-an, di Amerika Utara, The Hudson's Bay Company bukan saja beroperasi sebagai monopoli, tapi juga secara de facto menjadi pemerintah.  Sejarah yang mirip dengan VOC di Indonesia.

Kedua, keadaan pemerintah yang lemah berhadapan dengan beberapa korporasi besar yang saling bersaing. Persaingan yang tajam antara korporasi besar ini bahkan dapat membawa negara dalam kekacauan perang saudara, atau bahkan merusak keutuhan negara.

Ketiga, keadaan pemerintah yang kuat berhadapan dengan satu korporasi yang kuat atau kartel beberapa korporasi yang kuat. Kempat, keadaan pemerintah yang kuat berhadapan dengan beberapa korporasi besar yang saling bersaing.

Keadaan pertama dan kedua banyak ditemui di negara-negara berkembang.  Sedangkan keadaan ketiga dan keempat banyak ditemui di negara-negara maju. Di negara-negara maju dengan pemerintahan yang relatif kuat, seperti AS, corporatocracy menimbulkan banyak masalah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Situasi semakin buruk di negara-negara berkembang dengan pemerintahan yang relatif lebih lemah.

Di negara berkembang yang kaya sumber daya alam, dan memiliki pemerintahan yang kuat, dampak negatif corporatocracy dapat dikendalikan dengan menempatkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan korporasi.  Negara semacam inilah yang menjadi target untuk dilemahkan pemerintahannya.

Baca juga: 15 Perusahaan Pengelola Aset Terkaya di Dunia

Related

Money 1698645751711240708

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item