Slow Life, Cara Bahagia di Tengah Budaya Serba Cepat

Slow Life, Cara Bahagia di Tengah Budaya Serba Cepat

Naviri Magazine - Di perempatan jalan, saat lampu hijau baru saja menyala, segera terdengar klakson yang menjerit-jerit, meminta semua orang untuk segera melaju. Hal semacam itu sudah menjadi pemandangan umum yang terjadi di mana pun. Orang seperti sedang terburu-buru semua, dikejar aneka hal yang membuat semua ingin bergegas dan cepat-cepat.

Kenyataannya, gaya hidup kekinian adalah gaya hidup yang menuntut kecepatan. Tetapi, gaya hidup semacam itu belakangan disadari bukan gaya hidup yang memungkinkan kita untuk menikmati hidup, tapi justru sebaliknya. Kita cepat lelah karena terus menerus terburu-buru, merasa dikejar-kejar, dan terus menerus menginginkan kecepatan.

Karena itulah, belakangan muncul gaya hidup baru yang disebut slow life, sebagai upaya mengimbangi gaya hidup yang serba cepat.

Slow life tak sekadar slow food, tapi juga slow parenting, slow career, slow living, sampai slow money. Intinya sama: menolak tunduk pada budaya serba cepat, serta memilih melakukan sesuatu dengan perhitungan yang pas, menikmati prosesnya, dan mementingkan kualitas dibanding kuantitas.

Konsep hidup semacam itu turut mendorong beberapa negara mulai menerapkan slow life di kehidupan sehari-hari. Di Swedia, misalnya, keberadaan slow life dapat dilihat kala perusahaan-perusahaan menetapkan jam kerja hanya berdurasi 6 jam. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas, membuat pekerja lebih bahagia, dan punya waktu untuk menikmati kehidupan pribadi mereka.

Pelopornya ialah kantor-kantor Toyota yang berlokasi di Gothenburg. Perusahaan ini, sejak 1993, sudah mengubah durasi jam kerja untuk pegawainya menjadi lebih singkat. Hasilnya: pekerja diklaim lebih bahagia dan laba perusahaan meningkat.

Selain Toyota, ada juga Filmundus, perusahaan pengembang aplikasi yang terletak di Stockholm. Pada 2015, mereka memperkenalkan durasi kerja enam jam untuk pegawainya. Menurut pengakuan Linus Feldt, sang CEO, pola kerja delapan jam “tidak seefektif yang orang-orang kira.”

Ia menambahkan, mengutip The Independent, dengan jam kerja yang baru, para pegawai bisa dipastikan memiliki energi yang cukup untuk beraktivitas di dalam kehidupan pribadi mereka—suatu hal yang sulit jika kerja masih berdurasi delapan jam. Pihak lain yang ikut menerapkan kerja enam jam ialah rumah sakit di sejumlah daerah di Swedia.

Kondisi di Amerika setali tiga uang. Keinginan untuk menerapkan pola slow life muncul sebagai tanggapan atas budaya serba cepat yang diyakini punya potensi untuk menghancurkan kesehatan, relasi keluarga, dan komunitas sosial.

“Jika Anda tinggal di Eropa setelah usia 50 tahun, Anda hanya punya kemungkinan setengahnya untuk terkena penyakit kronis macam jantung atau tekanan darah tinggi yang biasanya diidap orang-orang Amerika kebanyakan,” kata John de Graaf, koordinator nasional Take Back Your Time, sebuah organisasi slow life. “[Karena] orang-orang [di sana] bisa berolahraga lebih banyak, lebih sedikit makan makanan cepat saji, dan tidur lebih banyak.”

Edgar S. Cahn, mantan jaksa dan pendiri TimeBanks—organisasi slow life—mengungkapkan durasi bekerja di Amerika telah berubah jadi budaya, simbol, sekaligus status sosial.

Cahn beranggapan, budaya kerja itu justru malah merantai para pekerja dengan durasi kerja yang lama. Ditambah, keberadaan teknologi makin memperburuk situasi karena masyarakat Amerika lebih suka menatap layar daripada berinteraksi dengan sekitar.

Melalui TimeBanks, yang beranggotakan wartawan, pengacara, koki, sampai petani, Cahn mengajak orang-orang di sekitarnya untuk lebih menghargai waktu dengan cara mematikan gawai, memasak bersama teman, hingga mengajak anjing peliharaan jalan-jalan ke taman.

TimeBanks tak sendirian. Tercatat ada sejumlah organisasi pengusung slow life lainnya, seperti Long Now Foundation yang berbasis di San Fransisco, Take Back Your Time dari Seattle, sampai Slow Food USA, yang menawarkan alternatif makanan selain menu cepat saji yang menggunakan bahan baku dari petani lokal.

“Gerakan ini adalah tentang bagaimana kita menghargai hal-hal selain seberapa cepat kita dapat mengonsumsi barang, dan seberapa banyak barang yang dapat kita kumpulkan,” ujarnya dilansir CNN.

Slow life bukan berarti tak tanggap dengan keadaan sekitar maupun hanya bergerak lambat dalam melakukan pekerjaan. Slow life adalah sikap, prinsip, sekaligus upaya untuk mendapatkan kebebasan dalam diri, yang selama ini tersita oleh kemacetan, tenggat pekerjaan, sampai pertanyaan dan urusan tak penting lainnya.

Baca juga: Mengapa Orang Mudah Emosi Saat di Jalan Raya?

Related

Psychology 7872972934951231477

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item