Slow Life, Gaya Hidup Baru untuk Lebih Menikmati Hidup

Slow Life, Gaya Hidup Baru untuk Lebih Menikmati Hidup

Naviri Magazine - Gaya hidup orang kekinian adalah gaya hidup serba cepat. Berangkat kerja terburu-buru, di tempat kerja juga diburu-buru deadline, sementara keseharian diisi dengan aneka keterburu-buruan lain, yang semuanya menuntut serba cepat.

Karena itu pula, kita pun akrab dengan fast food atau makanan cepat saji, karena fast food dinilai lebih praktis dikonsumsi di antara jadwal harian yang serba cepat.

Meski telah menjadi gaya hidup banyak orang, kehidupan serba cepat rentan menimbulkan stres, bahkan bisa mengganggu kesehatan. Karenanya, belakangan muncul ide gaya hidup baru, yang disebut slow life.

Secara garis besar, slow life atau pola hidup melambat merupakan cara dan respons atas rutinitas yang cepat, serba teratur, dan penuh kesibukan. Mereka yang menerapkan slow life adalah orang-orang yang berharap menjalani hidup dengan seimbang serta tidak berlebihan.

Para penganut slow life paham bahwa kesibukan dan gaya hidup yang serba cepat telah merebut banyak hal; waktu, kesehatan, ruang sosial, hingga terpenting, kenikmatan menjalani hidup. Mereka merasa, hidup yang serba cepat telah membodohi dan memaksa manusia tunduk di bawah kendalinya.

Dalam perjalanannya, konsep slow life sering kali disalahartikan dengan sesuatu yang dilakukan secara lambat. Asumsi semacam ini coba diluruskan oleh Diana-Eugenia Ioncica dan Eva-Cristina Petrescu, dalam “Slow Living and the Green Economy”, yang terbit di The Journal of Philosophical Economics: Reflections on Economic and Social Issues.

Mereka berpendapat, dengan mengutip Charles Eisenstein, pengarang The More Beautiful World Our Hearts Know Is Possible (2013), slow life bukan berarti melakukan aktivitas dengan lambat, melainkan menjalani sesuatu dengan perhitungan. Artinya, ketika waktunya untuk melambat tiba, melambatlah. Tapi, jika saatnya untuk bergerak cepat datang, maka tanggapilah dengan cepat pula.

Dengan demikian, slow life lebih berarti bagaimana kita mampu mengatur ritme hidup kita secara bebas, tanpa tunduk pada pola serba cepat, guna mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Dorin Paul dan Ozan Emre, dalam “A Short History of The Slow Movement”, menjelaskan gerakan slow life pertama kali muncul pada 1986 ketika Carlo Petrini, pendiri organisasi non-profit yang berfokus pada makanan dan wine, Arcigola, menentang pembukaan gerai pertama McDonald’s di Roma.

“Saya khawatir dengan sifat makanan cepat saji yang homogen secara kultural,” ungkapnya mengenai alasan penolakan McDonald’s, seperti dikutip Time.

Akan tetapi, bagi Petrini, melakukan unjuk rasa menolak pembukaan McDonald’s tidak bakal berdampak apa-apa dan hanya aktivitas yang “sia-sia.”

“Kami tidak ingin mengadopsi strategi yang memicu konflik terbuka dengan perusahaan multinasional,” ujarnya dilansir The Independent.

Petrini lantas menggunakan cara yang persuasif dengan membentuk organisasi Slow Food. Tujuan didirikannya organisasi tersebut ialah untuk melindungi, mengadvokasi, serta membangun kesadaran masyarakat, terhadap kekayaan makanan tradisional.

Tiga tahun usai penolakan McDonald’s di Roma, Petrini bergabung dengan perwakilan dari 15 negara lainnya, untuk menandatangani Slow Food Manifesto di Paris. Pada 10 Desember 1989, gerakan slow food berskala internasional pun terbentuk.

Baca juga: Menuju Dunia Kerja dengan Libur 3 Hari Dalam Seminggu

Related

Lifestyle 5566447033775312553

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item