Keadaan Sudah Sangat Gawat, Bumi Akan Segera Kiamat

 Keadaan Sudah Sangat Gawat, Bumi Akan Segera Kiamat

Naviri Magazine - Di masa lalu, ada banyak sungai dengan air yang jernih, tempat orang-orang mandi, mencuci baju, atau memancing dan bermain dengan riang. Kini, sungai-sungai itu masih ada, tapi airnya kotor dan berbau, dan tidak ada orang yang sudi mandi atau mencuci di sana, karena menyadari air sungai telah berbahaya.

Itu hanya satu contoh kecil yang mengilustrasikan bahwa bumi yang kita tinggali telah jauh berubah. Sayangnya, bukan berubah ke hal yang baik tapi justru berubah menjadi rusak. Sungai-sungai kotor, air laut berubah asam, polusi sangat tinggi, penebangan hutan di mana-mana, dan akibatnya berbagai bencana terus melanda.

Kalau kamu menganggap dunia baik-baik saja, coba pikir lagi. Dunia atau tepatnya planet Bumi yang kita tinggali sudah makin buruk keadaannya, terutama sejak dua tahun lalu. Pasalnya, sejak 2016, tingkat karbon di atmosfer bumi sudah melampaui 400 bagian ppm (part per milion). Celakanya, tingkat karbon ini tak bisa diturunkan lagi alias sudah permanen.

Menurut Scripps Institution of Oceanography, "sepertinya sudah bisa disimpulkan bahwa kita tak bisa lagi menyaksikan tingkat kandungan karbon di atmosfer di bawah 400 ppm tahun ini—atau kapan pun di masa depan.”

Temuan ini didasarkan pada observasi mingguan kandungan karbon dioksida di Hawaii's Mauna Loa Observatory, tempat yang digunakan para ilmuwan iklim untuk mengukur tingkat CO2 sejak 1958.

Lalu apa yang menakutkan dari perkembangan yang kurang mengenakkan ini? Selama beberapa tahun, para ilmuwan telah memeringatkan bahwa jika kadar karbon dioksida dibiarkan melewati angka 400 ppm, itu akan menandai sebuah “milestone.”

Pada 2012, kawasan arktika menjadi wilayah pertama di Bumi yang melampaui batas merah ini. Tiga tahun kemudian, untuk pertama kali sejak para ilmuwan mulai mengukurnya, level karbon tetap di atas 400 ppm selama sebulan penuh. Intinya, tingkat polusi karbon di atmosfer tidak baik-baik saja.

Kali ini, para ilmuwan percaya bahwa kita selamanya harus puas dengan level karbon yang berada di atas 400 ppm. Semua terjadi karena efek siklikal kurva CO2 Mauna Loa. level karbon biasanya mencapai titik terendah tiap akhir September, seperti yang diungkapkan oleh Scripps Institution of Oceanography.

Akan tetapi, pada September 2016, angkanya tetap ada di kisaran 401 pppm. Malah, sepanjang tahun 2016, terdapat kemungkinan kita belum menyaksikan titik terendah level karbon. Parahnya lagi, menurut lembaga tersebut, munculnya titik terendah tingkat karbon di atmosfer adalah sesuatu yang “mustahil” terjadi.

Kalau ada nilai positif dari berita murung ini, maka kita bisa berharap bahwa tingkat karbon di atmosfer yang tinggi akan memicu manusia untuk bergerak guna membenahi iklim Bumi.

Contohnya, Kesepakatan Paris—konvensi internasional yang didedikasikan untuk memerangi perubahan iklim dan efeknya—telah menjabarkan beberapa tujuan yang harus dicapai umat manusia, terkait tingkat karbon di atmosfer.

Semua negara yang meratifikasi kesepakatan tersebut wajib ikut mencegah rata-rata suhu Bumi naik melebihi 15 derajat celsius dari suhu global pada masa pra-industri.

Salah satu upaya yang bisa kita tempuh untuk mewujudkannya adalah membatasi emisi, dan mendesak pemanfaatan energi bersih seperti yang dimandatkan oleh Kesepakatan Paris. Masalahnya, 60 negara yang ikut meratifikasi Kesepakatan Paris hanya bertanggung jawab atas 47,76 persen emisi karbon dunia.

Baca juga: Tak Lama Lagi, Manusia Harus Mengucap Selamat Tinggal Pada Bumi

Related

Science 3414004085354008088

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item