S.H. Mintardja, Penulis Cerita Silat Terbesar di Indonesia

S.H. Mintardja, Penulis Cerita Silat Terbesar di Indonesia

Naviri Magazine - Di antara banyak genre kisah dalam novel, cerita silat adalah salah satunya, dan biasa disebut cersil. Dunia sastra Indonesia pernah diramaikan genre ini, yang melahirkan kisah-kisah kolosal dalam berjilid-jilid buku, dan mengangkat nama-nama penulis yang lekat dengan genre tersebut. Salah satunya adalah Singgih Hadi Mintardja.

Penulis ratusan judul cerita silat ini dilahirkan di Yogyakarta pada 26 Januari 1933. Selain menjadi penulis cerita silat, Mintardja bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan, dan terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kisah-kisahnya digali dari pelbagai sejarah kerajaan di Jawa. Menurut Teguh Setiawan, dalam artikel bertajuk “Dari Hui Rui sampai KPH” yang dimuat Republika edisi 14 November 2011, Mintardja menguasai Babad Tanah Jawi sehingga relatif tak menemui kesulitan saat menulis karya-karyanya.

Sebelum Mintardja, penulis lain yakni Kho Ping Hoo telah lebih dulu melahirkan cerita silat yang berlatar cerita-cerita dari Cina. Inilah yang memotivasi Mintardja untuk menulis cerita silat dengan latar sejarah Jawa.

“Booming cerita silat Tionghoa memprovokasi penulis lokal untuk menulis genre yang sama tapi dengan latar belakang Jawa. Singgih Hadi Mintardja muncul sebagai penulis cerita silat lokal yang paling fenomenal,” imbuh Teguh Setiawan.

Salah satu karya Mintardja yang digandrungi, Api di Bukit Menoreh (1967), terdiri dari 400 lebih seri. Saking populernya, cerita ini sempat diangkat ke layar lebar pada 1971.

“Lewat buku ini, saya ingin menegaskan bahwa tanah tumpah darah kami juga memiliki material yang bisa dijadikan bahan cerita silat […] Saya ingin menciptakan cerita saya dengan ruang imajinasi lokal,” kata Mintardja seperti dikutip Teguh Setiawan dalam artikelnya yang lain.

Selain Api di Bukit Menoreh, karya lainnya yang laris di pasar adalah Nagasara dan Sabuk Inten. Cerita ini mula-mula dimuat bersambung di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.

Kisah ini melahirkan tokoh legendaris bernama Mahesa Jenar, yang amat melekat di ingatan para pembaca. Ia dikisahkan sebagai mantan prajurit Kesultanan Demak yang mencari pusaka kerajaan, yakni keris Nagasasra dan Sabukinten. Berkat keteguhannya, ia berhasil mendapatkan kembali kedua keris itu sebagai simbol kejayaan negara.

Belum tamat hingga pungkas hayat

Mintardja wafat pada 18 Januari 1999. Ia meninggal di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, setelah sebulan dirawat karena menderita penyakit ginjal dan jantung. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Arimatea Jalan Tamansiswa, Yogyakarta.

Pemakamannya, seperti dilaporkan Kompas edisi 21 Januari 1999, dihadiri mantan Dirjen Kebudayaan, Kapolda DI Yogyakarta, dan kalangan pejabat pemerintah Provinsi dan Kota Yogyakarta.

Selain itu, hadir pula kalangan seniman dan sastrawan seperti Bakdi Sumanto, Sudarso Sp, Butet Kertarejasa, Bondan Nusantara, Yati Pesek, Jadug Ferianto, dan ilustrator sejumlah ceritanya, yakni Herry Wibowo.

Menurut putra tertuanya, Andang Suprihadi, seperti dilansir Kompas, Mintardja menderita sakit jantung koroner sejak 1989. Meski demikian ia tetap berkarya.

“Bapak memang penuh semangat kalau sudah menulis. Kalau sudah khusyuk menulis, tidak ada yang berani mengganggunya,” ujar Andang.

Sepanjang hidupnya, selain menulis cerita silat, ia juga menulis cerita ketoprak, di antaranya Ampak-ampak Kaligawe, Kembang Kecubung, Kembang Tumelung, dan Prahara.

Sementara cerita silat lainnya yang diangkat ke layar lebar selain Api di Bukit Menoreh adalah Tanah Warisan, yang dalam film judulnya menjadi Sisa-sisa Laskar Pajang (1972).

Andang Suprihadi menambahkan, sejak pertama kali dimuat di sebuah surat kabar pada 1968, kisah Api di Bukit Menoreh belum juga selesai sampai hidup Mintardja usai.

“Sudah sampai Api di Bukit Menoreh IV/59. Jadi artinya sudah 459 jilid buku. Ceritanya masih terus jalan,” katanya.

Kiprah Mintardja dalam dunia menulis dianugerahi sejumlah penghargaan. Salah satunya Sang Hyang Kamahayanikan Award, dari panitia Borobudur Writers and Cultural Festival tahun 2012, yang saat itu mengusung tema “Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”.

Mintardja, yang kata Seno Gumira Ajidarma adalah seorang yang sangat sederhana dan rendah hati serta tidak pernah terlibat polemik sastra yang cerewet, dinilai layak mendapat penghargaan itu. Ia merupakan generasi pertama penulis cerita silat yang mengangkat latar sejarah Nusantara.

Baca juga: Bergelimang Uang, Inilah 10 Penulis Paling Kaya di Dunia

Related

Figures 1722999740362441268

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item