Kisah Petinju Hebat Dunia, Muhammad Ali, Saat Masuk Islam

Kisah Petinju Hebat Dunia, Muhammad Ali, Saat Masuk Islam

Naviri Magazine - Muhammad Ali adalah nama legendaris di dunia tinju, sosok juara yang bahkan dikagumi para petinju lain di generasi setelahnya. Nama aslinya adalah Cassius Marcellus Clay Jr. Namun, setelah masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.

Ali hidup di Amerika pada masa ketika kaum kulit hitam secara frontal mulai berani mendobrak kultur rasialisme. Salah satu kelompok terdepan dalam melakukan hal itu adalah Nation of Islam, yang memiliki pemimpin bernama Elijah Mohammad, dan motor gerakan seorang aktivis kulit hitam yang radikal, Malcolm X.

Dalam struktur kelas sosial Amerika saat itu, Nation of Islam sebetulnya berada dalam lapisan terendah, minoritasnya minoritas, karena mereka adalah kelompok para Muslim berkulit hitam. Namun, sikap ekstrem mereka yang kerap mengutuk kebejatan kaum kulit putih membuat gaung Nation of Islam dengan cepat dikenal khalayak.

Ali, yang turut pula menjadi korban sentimen rasialis pada saat itu, kemudian bergabung dengan Nation of Islam pada 1964, tak lama usai mendengarkan ceramah berapi-api Elijah Muhammad di Philadelphia. Dalam wawancaranya dengan jurnalis Michael Parkinson, Ali mengungkap bagaimana Elijah menyebut kaum kulit putih sebagai iblis.

Pada tahun yang sama pula, Ali memutuskan untuk berpindah keyakinan ke Islam. Dalam salah satu biografi termashyur tentangnya, yang ditulis Jonathan Eig, Ali: A Life, Ali mengungkap kepindahannya pada sebuah konferensi pers yang semula digelar untuk menyambut pertandingan melawan Liston.

Ali yang muak karena rombongan jurnalis mulai bertanya mengenai relasinya dengan Black Muslims—label yang secara diskriminatif kerap digunakan media AS dalam menyebut Nation of Islam—kemudian memproklamirkan fakta mengejutkan: ia bukan lagi seorang Kristiani.

"Saya percaya kepada Allah dan perdamaian. Saya mencoba untuk tidak pindah ke lingkungan kulit putih. Saya tidak ingin menikahi perempuan kulit putih. Saya dibaptis ketika usia 12, tetapi saya tak tahu apa yang saya lakukan kala itu. Sekarang saya bukan seorang Kristiani lagi. Saya tahu akan ke mana, dan saya sudah tahu apa yang benar. Saya tak perlu mengikuti kemauan Anda. Saya bebas menjalani pilihan saya."

Namun, dalam artikel yang tayang di Washington Post pada 26 Oktober 2017 lalu, Eig juga mengungkap versi lain terkait keputusan Ali untuk masuk Islam. Eig sebetulnya sudah mengetahui hal ini sejak ia mewawancarai Belinda Boyd, istri kedua Ali, untuk kepentingan penulisan Ali: A Life.

Kala itu, Belinda memberikan Eig secarik surat dari Ali, yang isinya kurang lebih mengenai sisi spiritual sang legenda. Berdasarkan pertimbangan tertentu, Eig memutuskan untuk tidak mencantumkan nama Belinda di biografi yang ia tulis.

Menurut Eig, berdasarkan surat tadi, iman Ali mulai bergejolak ketika pada suatu hari ia melihat kolom kartun dalam koran pagi. Kolom tersebut menunjukkan gambar seorang kulit putih tengah memukul budak kulit hitam miliknya, dan memaksanya beribadah seperti yang dijalani kebanyakan orang kulit putih. Menariknya, kolom tersebut justru menggugah nalarnya.

"Saya menyukai kartun tersebut. Pesannya masuk akal bagi saya," tulis Ali di surat tersebut, yang kini telah diberikan Eig kepada pihak National Museum of African American History and Culture.

Sejak memutuskan menjadi Muslim dan bergabung secara aktif dengan Nation of Islam, Ali pun turut pindah ke Chicago agar dapat tinggal dekat masjid Maryam, markas komunitas tersebut. Ia menetap di Chicago dengan berpindah-pindah selama kurang lebih 12 tahun. Ali juga sempat dua kali mengubah namanya. Semula ia menggunakan Cassius X, namun Elijah memilihkan nama yang kemudian dipakainya hingga akhir hayat: Muhammad Ali.

"Cassius Clay adalah nama seorang budak. Saya tidak memilihnya, dan tidak pula menginginkannya," kata Ali kala itu.

Bergabung dengan Nation of Islam membuat Ali menjadi jauh lebih berani dalam menyatakan sikap politiknya. Ketika invasi AS ke Vietnam terjadi pada 1 November 1955, hingga kejatuhan kota Saigon pada 30 April 1975 dan membuat perang tersebut meluas hingga Laos dan Kamboja, pemerintah AS memutuskan untuk menggelar kebijakan wajib militer. Ali secara kontroversial menolak ikut wamil, karena tidak sesuai dengan keyakinannya.

"Saya tidak punya masalah dengan Vietcong. Mereka tidak pernah memanggil saya negro, mereka tidak pernah menggantung saya, mereka tidak mengejar saya dengan anjing, mereka tidak merampok kebangsaan saya, tidak memerkosa ibu dan membunuh ayah saya. Lalu menembak mereka untuk apa? Bagaimana saya bisa menembak mereka, orang-orang malang itu. Silakan bawa saya ke penjara!

“Saya tidak akan mempermalukan agama saya, kaum saya atau diri sendiri dengan menjadi alat untuk memperbudak orang-orang yang berjuang untuk keadilan mereka sendiri, kebebasan dan kesetaraan.

“Jika saya berpikir perang akan membawa kebebasan dan kesetaraan untuk 22 juta orang, mereka tidak perlu memanggil saya. Saya akan bergabung besok. Saya tidak akan rugi dengan berdiri teguh untuk keyakinan saya. Saya akan masuk penjara, memang kenapa? Kami sudah di penjara selama 400 tahun."

Sikap Ali tersebut berujung penahanan dan denda sebesar US$10 ribu. Pemerintah AS juga mencabut gelar juara milik Ali, dan melarangnya bertanding tinju sepanjang 1967-1970.

Selama tidak aktif berlaga di atas ring, Ali memperoleh dukungan seiring tumbuhnya berbagai penolakan terhadap invasi AS ke Vietnam. Ia pun sering diundang menjadi pembicara di berbagai wilayah AS untuk mengkritik invasi tersebut. Pada 3 Januari 1972, Ali pun akhirnya berkesempatan menunaikan haji ke tanah suci Mekkah.

Namun, kendati keras dalam mempertahankan prinsipnya, tidak pernah sekalipun Ali menjadi seorang Muslim ekstremis yang memusuhi agama lain. Terutama sejak ia mulai berguru kepada putra sekaligus penerus Elijah, Wallace Muhammad.

Berbeda dengan Elijah, Wallace mengajarkan Islam yang lebih moderat, menyatakan bahwa orang kulit putih tidak selamanya dipandang sebagai iblis. Lewat Wallace, pemikiran Ali tentang Islam pun perlahan berubah menjadi inklusif dibanding Nation of Islam yang tetap eksklusif.

Ali sempat pula mendalami sufisme berdasarkan pengakuan dari putrinya, Hana Yasmeen Ali, yang juga turut menulis autobiografi sang ayah, The Soul of a Butterfly (2004).

Dalam wawancara yang dilansir beliefnet.com 2005 lalu, Hana menyebut Ali mulai tertarik kepada sufisme setelah membaca buku Inayat Khan, dan secara perlahan itu mengubah kepribadiannya dari yang dulu amat religius, kini lebih mementingkan sisi spiritual keimanan.

Baca juga: Ini 7 Fakta Mencengangkan Albert Einstein yang Jarang Diketahui

Related

Sports 7131406181975639812

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item