Misteri Déjà vu, Pengalaman Aneh yang Datang dari Alam Lain

Misteri Déjà vu, Pengalaman Aneh yang Datang dari Alam Lain

Naviri Magazine - Hampir semua dari kita pernah mengalami deja vu; sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton.

Lebih aneh lagi, kita juga sering tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Keanehan fenomena deja vu kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa, yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi?

Terkait dengan umur dan penyakit degeneratif

Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familier pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat.

Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika ditemukan bahwa orang buta pun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaan.

Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis; orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi.

Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya!

Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.

Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal.

Bagian itu sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru, dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.

Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama.

Hal ini dapat menjelaskan mengapa pengalaman deja vu meningkat seiring bertambahnya usia, atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer; kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.

Menciptakan ‘deja vu’ di laboratorium

Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi laboratorium yang steril.

Deja vu umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat.

Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukan hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun, beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.

Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka.

Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan.

Ternyata, gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.

LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds, dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian, mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut.

Ketika para partisipan ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami benar-benar deja vu. Menurut mereka, hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.

Baca juga: Berdasarkan Studi, Orang yang Sopan Belum Tentu Baik Hati

Related

Psychology 1584235152543066670

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item