Benarkah Kera Sakti Benar-benar Ada di Dunia Nyata? (Bagian 1)

 Benarkah Kera Sakti Benar-benar Ada di Dunia Nyata?

Naviri Magazine - Wu Ch’eng-en (1500-1582) kelahiran Shan-yang, Huai-an (sekarang provinsi Kiangsu, Tiongkok) adalah penulis novel dan puisi terkenal di zaman Dinasti Ming (1368-1644).

Ia menulis kisah perjalanan berdasarkan cerita perjalanan Hsuan-tsang/Tang Zhang dari bukunya, Ta-T’ang Hsi-yu-chi (Catatan Perjalanan Ke Barat Semasa Dinasti T’ang Agung), yang kemudian terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go-kong atau Sun Hou-zi), dengan judul Hsi-yu-chi (Catatan Perjalanan Ke Barat).

Hsi-yu-chi diterbitkan pertama kali pada tahun 1592, sepuluh tahun setelah kematian Wu Ch’eng-en. Catatan Perjalanan ke Barat terdiri dari 100 bab, yang dibagi atas tiga bagian utama:

Bagian pertama dari tujuh bab menceritakan kelahiran Sun Go-kong dari sebutir telur batu, dan memiliki kekuatan sakti yang tiada tanding, sehingga mengacaukan kahyangan, yang membuatnya diturunkan dari kahyangan dan dikurung oleh Buddha Sakyamuni di dalam Wu-hsing-shan (Gunung Lima Unsur Alam) sambil menunggu pembebasannya oleh seorang bhikshu yang akan melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci.

Bagian kedua berisi lima bab yang berkaitan dengan sejarah Hsuan-tsang, dan tugas utamanya dalam melakukan perjalanan ke Barat.

Sedangkan bagian ketiga, yang berisi 88 bab sisanya, menceritakan keseluruhan perjalanan Hsuan-tsang/Tang Zhang dengan ketiga muridnya.

Legenda ini mencerminkan kehidupan manusia pada umumnya. Hal ini dapat ditemukan pada karakteristik para tokohnya.

1. Sun Go Kong mewakili manusia dengan keegoisan, kebencian, mudah marah, kesombongan, dan pikiran yang liar.

2. Chu Pa Chie (Cu Pat Kai) mewakili manusia dengan berbagai keinginan dan keserakahan duniawi, seperti rakus pada makanan, genit, suka menggoda wanita, menginginkan kedudukan tinggi, dan gila harta benda.

3. Sha Ho Shang (Wu Ching) mewakili manusia dengan karakter lemah yang membutuhkan dukungan dari orang lain, lamban dalam berpikir, sulit menghafal sesuatu (sutra Kitab Suci), dan kebodohan batin.

Jadi, mereka bertiga melambangkan Lobha, Dosa, dan Moha (Keserakahan, Kebencian, dan Kegelapan/Kebodohan Batin) dalam ajaran sang Buddha. Hal ini disebut tiga akar kejahatan. Jika manusia melenyapkan atau mengendalikan tiga akar kejahatan ini, maka akan tercapai pencerahan, dan manusia biasa bisa menjadi Buddha.

4. Sedangkan Bhiksu suci Hsuan Tsang/Tang Zhang mewakili manusia yang telah terbebas dari penderitaan dan tercerahkan, memiliki keteguhan hati di dalam ajaran Buddha, teguh dalam memegang sila, dan setia dalam Jalan Tengah, dan berjuang keras demi kebahagiaan makhluk lain.

5. Kuda Putih tunggangan Bhiksu mewakili ajaran Buddha yang disebut Dharma.

Cerita legenda kera sakti adalah dongeng mengenai perilaku manusia yang mengandung filsafat serta nasehat dan pengajaran, supaya mudah dimengerti dan dipahami. Yang ini merupakan kisah nyata bhiksu tersebut, yang memotivasi kita bahwa semua kesuksesan membutuhkan perjuangan.

Perjuangan Biksu Kecil, Tang Zhang

Ini adalah kisah tentang seorang biksu kecil yang sejati. Pada zaman Dinasti Tang, di sebuah kuil hiduplah seorang biksu kecil. Sejak kecil, ia sudah menjadi biksu di kuil. Setiap pagi, begitu bangun tidur, biksu kecil ini harus segera mulai menimba air dan menyapu halaman.

Seusai pelajaran pagi, dia harus pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang kuil, untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari untuk kuil. Setelah membeli barang yang dibutuhkan, dan tanpa ada waktu luang, dia masih harus mengerjakan sejumlah pekerjaan. Kemudian ia masih membaca kitab suci hingga larut malam.

Demikianlah kegiatannya setiap hari. Setiap pagi dan senja mendengar suara gendang, dan lonceng pagi di kuil, hingga 10 tahun berlalu. Suatu ketika, biksu kecil itu mendapat sedikit waktu luang. Ia berbincang-bincang dengan biksu kecil lainnya. Akhirnya dia mendapati bahwa semua orang ternyata hidup begitu santai.

Hanya dia seorang yang selalu sibuk setiap hari. Tugas membaca dan pekerjaan dari kepala biara kepadanya selalu yang paling berat. Dia tidak mengerti, lalu bertanya pada kepala biara. Mengapa semua orang hidupnya lebih santai daripada dia? Mengapa tidak ada orang yang menyuruh mereka membaca kitab suci atau bekerja, sedangkan dia harus bekerja tiada henti?

Kepala biara hanya menundukkan kepala, memberi tanda Buddha, dan tersenyum, namun tidak menjawab.

Pada siang hari, biksu kecil ini pergi ke kota yang terletak di bawah bukit, untuk membeli sekantong beras. Dalam perjalanan pulang, sambil memanggul beras, ia tiba di pintu belakang kuil, dan di sana kepala biara sedang menunggunya.

Kepala biara membawanya ke pintu depan kuil. Kemudian, kepala biara duduk istirahat memejamkan mata. Biksu kecil tidak mengerti maksud kepala biara, akhirnya dia berdiri menunggu di samping.

Biksu kecil terus menunggu. Mentari sudah hampir terbenam, tiba-tiba di depan jalan muncul beberapa bayangan biksu kecil. Beberapa biksu kecil ini termenung sesaat melihat kepala biara. Kepala biara membuka matanya, dan bertanya pada mereka. “Pagi-pagi saya meminta kalian pergi membeli garam. Jalan di depan ini begitu dekat dan rata. Kenapa kalian baru kembali sekarang?”

Biksu-biksu kecil itu saling berpandangan, kemudian menjawab, “Kepala biara, dalam perjalanan kami tertawa, bercanda, dan menikmati pemandangan, akhirnya sekarang baru sampai. Lagi pula, selama 10 tahun ini memang begitu, kan?”

Lalu kepala biara bertanya pada biksu kecil yang berdiri di samping, “Kamu ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli beras, jalannya berliku-liku dan jauh, harus menapaki bukit dan lembah, bahkan harus membawa beras yang berat. Kenapa waktu kamu kembali lebih awal daripada mereka?”

Biksu kecil menjawab, “Setiap hari dalam perjalanan, saya selalu ingin cepat pergi dan cepat kembali. Lagi pula, saya berjalan sangat hati-hati karena memanggul barang yang berat di pundak, dan lama kelamaan jalannya semakin mantap dan cepat. Selama 10 tahun ini saya sudah terbiasa, dalam hati hanya ada satu tujuan, tiada lagi jalanan.”

Setelah mendengar itu, kepala biara berkata pada semua biksu kecil. “Jalanan sudah rata. Tetapi hati tidak terpusat pada tujuan. Hanya dengan berjalan di atas jalanan yang berliku, baru bisa menempa tekad seseorang.”

Baca lanjutannya: Benarkah Kera Sakti Benar-benar Ada di Dunia Nyata? (Bagian 2)

Related

History 736054866115197630

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item