Sejarah Perjudian di Indonesia, dari Lotre, Porkas, Sampai SDSB

Sejarah Perjudian di Indonesia, dari Lotre, Porkas, Sampai SDSB

Naviri Magazine - Perjudian di Indonesia punya latar belakang sejarah panjang, setidak-tidaknya sudah ada sejak zaman penjajah Belanda.

Pada umumnya, dulu perjudian selalu terkait dengan dunia malam dan hiburan. Di bawah kekuasaan Belanda di Indonesia, judi berlangsung dengan sebuah ordonansi yang dikeluarkan residen setempat.

Judi dalam bentuk lotre sudah ada sejak tahun 1960-an, yang zaman itu lebih dikenal dengan nama lotre buntut. Pada masa itu, di Bandung ada lotre yang disebut Toto Raga sebagai upaya pengumpulan dana mengikuti pacuan kuda.

Sedangkan di Jakarta, semasa Gubernur Ali Sadikin, muncul undian lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (Nasional Lotre).

Tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No 113 Th 1965 yang menyatakan lotre buntut merusak moral bangsa, masuk kategori subversi

Memasuki Orde Baru, lotre terus berkembang. Tahun 1968, Pemda Surabaya mengeluarkan Lotto (Lotre Totalisator) PON Surya, yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan olahraga, hanya berdasarkan undian. Tujuannya menghimpun dana bagi PON VII.

Pada 1974, Toto KONI dihapus. Pemerintah, melalui Menteri Sosial, Mintaredja (saat itu), mulai memikirkan sebuah gagasan untuk menyelenggarakan forecast sebagai bentuk undian tanpa menimbulkan ekses judi.

Setelah studi banding selama dua tahun, Depsos berkesimpulan, penyelenggaraan forecast Inggris dilaksanakan dengan bentuk sederhana. Selain itu, perbandingan yang diperoleh penyelenggara tebakan, pemerintah, dan hadiah bagi si penebak 40-40-20.

Tahun 1976, setelah meminta penilaian lagi dari Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Departemen Dalam Negeri, rencana Depsos untuk menyelenggarakan forecast tidak mendapat tantangan, dan merencanakan pembagian hasil 50-30-20.

Rencana itu belum bisa terlaksana, karena Presiden Soeharto bersikap hati-hati dan meminta untuk dipelajari lebih dalam lagi.

Dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk melaksanakan undian forecast ini. Tanggal 28 Desember 1985, Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan, dan dijual.

Porkas dimaksudkan untuk menghimpun dana masyarakat, untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No 22 Tahun 1954 tentang Undian, yang antara lain bertujuan agar undian menghasilkan hadiah.

Berbeda dari Toto KONI, Porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan M-S-K atau menang, seri, dan kalah. Perbedaan lain, kalau Toto KONI beredar sampai ke pelosok daerah, Porkas beredar hanya sampai tingkat kabupaten, dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan, serta membelinya.

Kupon Porkas terdiri atas 14 kolom, dan diundi seminggu sekali, setelah 14 grup sepak bola melakukan 14 kali pertandingan.

Jadwal pertandingan ditentukan oleh PSSI, dari jadwal di dalam dan luar negeri. Setiap pemegang kupon yang tahun 1985 senilai Rp 300 menebak mana yang menang (M), seri (S), dan kalah (K). Penebak jitu 14 kesebelasan mendapat hadiah Rp 100 juta.

Pada 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas dilakukan. Sampai akhir Februari tahun yang sama, dana bersih yang dikumpulkan dari penyelenggaraan Porkas mencapai Rp 1 miliar.

Pertengahan tahun 1986, pengedaran Porkas dilakukan melalui sistem loket. Para distributor, agen, sub-agen yang terbukti melakukan penyimpangan, dipecat oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), sebuah yayasan yang juga mengelola Undian Tanda Sumbangan Berhadiah.

Bulan Oktober 1986, dana Porkas yang terkumpul sudah mencapai Rp 11 miliar, dari target Rp 13 miliar yang ditetapkan hingga akhir tahun.

Dari jumlah itu, KONI Pusat mendapat Rp 1,5 miliar, KONI daerah Rp 4,5 miliar, PSSI Pusat Rp 1,4 miliar, Kantor Menpora Rp 250 juta, Asian Games X Seoul Rp 250 juta, administrasi Rp 8,5 miliar dan Rp 9 miliar, dan Rp 4 miliar didepositokan sebagai "dana abadi".

Akhir tahun 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan bersifat lebih realistis. Dalam SOB ada dua macam kupon, berisi tebakan sepak bola. Kali ini, yang ditebak pada kupon tidak lagi menang-seri-kalah seperti pada Porkas, tetapi juga skor pertandingan, bahkan skor babak pertama dan babak kedua.

Kupon SOB kedua berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Dalam kurun waktu Januari-Desember 1987, SOB menyedot dana masyarakat Rp 221,2 miliar.

Pertengahan tahun 1988, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan, SOB dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) menimbulkan akibat negatif. Yakni tersedotnya dana masyarakat pedesaan, dan akan mempengaruhi kehidupan perekonomian daerah.

Pertengahan Juli 1988, Mensos, Dr Haryati Soebadio, dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, menegaskan, kupon KSOB dan TSSB tahun 1988 diperkirakan menyedot Rp 962,4 miliar dana masyarakat. Artinya, meningkat empat kali dibandingkan hasil penjualan tahun 1987.

Tanggal 1 Januari 1989, SOB dan TSSB dihentikan, dan diganti permainan baru bernama Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).

Tujuan SDSB adalah untuk menyumbang dengan beriktikad baik, dan terbagi atas dua macam kupon; Kupon A seharga Rp 5.000 dengan hadiah Rp 1 miliar, dan Kupon B seharga Rp 1.000 dengan hadiah Rp 3,6 juta. Kedua kupon ini ditarik seminggu sekali dengan jumlah yang diedarkan 30 juta lembar (Kupon A sebanyak 1 juta lembar dan Kupon B sebanyak 29 juta lembar).

Pajak penghasilan lotre-lotre tersebut, yang harus dibayar berturut-turut; tahun 1986 Rp 2 miliar, tahun 1987 Rp 3 miliar, tahun 1988 Rp 4 miliar, dan tahun-tahun berikutnya Rp 8 miliar.

Pada tahun 1991, berdasarkan kesepakatan dengan Dirjen Pajak, pelaksana/pengelola harus membayar pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 13,4 miliar, pajak hadiah undian dan PPh Rp 12 miliar, sehingga total pajak yang harus dibayarkan adalah Rp 25,4 miliar.

Pada tanggal 25 November 1993, pemerintah mencabut dan membatalkan pemberian izin untuk pemberlakuan SDSB tahun 1994. Lotre SDSB di Indonesia berakhir, setelah sebelumnya didahului berbagai demonstrasi mahasiswa anti-SDSB.

Setelah itu, sempat ada Dana Masyarakat untuk Olahraga (Damura), namun ditunda hingga semua persoalan yang menyangkut penggalangan dana masyarakat sudah jelas. Selain itu, penundaan dilakukan untuk menunggu keputusan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPR.

Konsep penjualan 

Ada tiga hal yang perlu diklarifikasi sebelum meluncurkan Damura. Pertama, konsep penjualan Damura termasuk judi atau tidak. Kedua, target penjualan hanya untuk kalangan menengah ke atas. Ketiga, porsi untuk olahraga yang hanya 6,5 persen harus diperbesar.

Belakangan, kontroversi Damura berlalu, setelah dibatalkan beroperasi.

Setelah itu muncul kupon asuransi kematian. Menteri Sosial (Mensos), H Bachtiar Chamsyah, menilai kupon asuransi kematian pada 1 Agustus 2003 yang akan diterbitkan Departemen Sosial (Depsos). Namun bukan berbentuk judi seperti pada Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Kupon asuransi kematian, yang akan dijual Rp 3.000 per lembar, berlaku seminggu, sehingga jika si pembeli selama seminggu berlakunya kupon itu meninggal, maka mendapat santuan Rp 7,5 juta. Namun juga gagal, hal tersebut tidak direalisasikan.

Related

World's Fact 5803119425292048589

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item