Ini Penyebab dan Fakta di Balik Demo Besar-besaran di Hong Kong

Ini Penyebab dan Fakta di Balik Demo Besar-besaran di Hong Kong

Naviri Magazine - Ratusan ribu warga Hong Kong, bahkan ada klaim menyebut jumlahnya mencapai 1 juta orang, turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa sejak Minggu (9/6/2019). Mereka menentang rencana pemberlakuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi.

Pada intinya, RUU yang juga akan meliputi Taiwan dan Makau itu mengatur ekstradisi para tersangka pidana kriminal ke Tiongkok. Pemerintah Hong Kong meluncurkan RUU ini pertama kali pada Februari lalu, untuk memantapkan perjanjian ekstradisi dengan negeri induknya, Tiongkok.

Hong Kong menyebut ini untuk menghapus kebijakan "satu negara, dua sistem". Dilansir Reuters, Rabu (12/6), para pejabat Hong Kong mengatakan sistem berbeda dengan Tiongkok justru menimbulkan "lubang" yang bisa dimanfaatkan para kriminal dari daratan Cina.

Pemerintah Hong Kong memberi contoh bagaimana kasus pembunuhan yang melibatkan perempuan negeri itu di Taiwan pada tahun lalu. Sang perempuan tewas setelah dibunuh, dan pelakunya diduga sang pacar.

Otoritas keamanan di Taiwan tak bisa memanggil sang pacar untuk dimintai keterangan, karena yang bersangkutan berada di Hong Kong. Taiwan juga tak berusaha karena tak ada perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong.

Lelaki tersebut kini sudah berada di penjara di Hong Kong, tapi untuk kasus pencucian uang. Hong Kong tidak mengusut pembunuhan termaksud, meski dia sudah mengaku.

Para pejabat Hong Kong pun menegaskan RUU di atas adalah untuk mengatasi hal itu, dan tak akan disalahgunakan dalam hal politik atau agama, jika mereka diekstradisi ke Tiongkok. Bahkan para terpidana mati di Hong Kong pun tidak akan diekstradisi.

Tiongkok mendukung penuh rencana penerapan RUU ini. Namun, Taiwan menolak dengan keras, bahkan mereka tak akan mengekstradisi sang pembunuh ketika RUU itu sudah berlaku.

Sikap Taiwan senada dengan jutaan warga Hong Kong. Mereka khawatir RUU ini bisa digunakan untuk membidik para musuh politik Tiongkok yang selama ini memang bermukim di sana.

Mereka menolak penghapusan kebijakan "satu negara, dua sistem" yang sudah dinikmati warga Hong Kong sejak Inggris menyerahkan kedaulatan negeri itu kepada Tiongkok pada 1997.

Warga Hong Kong berbondong-bondong memenuhi jalan raya di distrik bisnis Admiralty, tempat gedung parlemen dan pemerintahan berada. Para pengunjuk rasa, yang kebanyakan mengenakan baju berwarna putih, bergerak sekitar 3 km dari Victoria Park di bagian timur pulau Hong Kong.

Mereka menutup jalan dan transportasi umum yang menghubungkan pulau Hong Kong dengan Kowloon di Hong Kong daratan. Selama 7 jam berdemo, massa diperkirakan sudah mencapai 1 juta orang, sekaligus memecahkan rekor unjuk rasa pada 2003 yang dihadiri sekitar 500 ribu orang.

Sementara menurut polisi, seperti disebut The Guardian, jumlah pendemo kali ini mencapai 240 ribu orang pada puncaknya. Mereka inilah yang diperkirakan bertahan di luar gedung pemerintah hingga Rabu (12/6) untuk menghalangi para anggota parlemen mengikuti agenda pembahasan kedua RUU ini.

Namun, polisi membubarkan mereka karena izin demo kedaluwarsa pada Selasa (11/6) tengah malam. Hanya dalam hitungan menit, kericuhan pun pecah.

Para pendemo menolak dibubarkan. Mereka melawan dengan melemparkan berbagai benda, antara lain botol minuman dan benda logam, ke arah polisi antihuru-hara.

Polisi pun menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membalas perlawanan para pendemo. Bentrokan tak terhindarkan hingga Rabu (12/6) malam.

BBC menyebut 72 orang berusia 15 hingga 66 tahun terluka akibat bentrokan tersebut, termasuk dua lelaki dalam kondisi kritis. Sedangkan 21 personel polisi terluka, dan sembilan orang di antaranya dilarikan ke rumah sakit.

Sementara menurut South China Morning Post, dua orang pendemo diringkus polisi karena diduga melakukan provokasi kerusuhan. Adapun kelompok Hak Asasi Manusia menuduh polisi telah menggunakan kekerasan dalam menghadapi para pendemo.

Namun, Kepala Pemerintahan Hong Kong, Carrie Lam, dalam pernyataan resmi mengatakan para pendemo menggunakan minyak tanah, besi tajam, pentungan, dan batu, untuk menyerang polisi serta merusak fasilitas publik. Lam menyebut para pendemo sengaja ingin membuat kekacauan dan kerusuhan.

“Jelas, ini bukan lagi aksi damai tapi kerusuhan terencana," katanya.

Sebelumnya, pada Rabu (12/6) pukul 08.30 waktu setempat, atau bersamaan dengan permulaan ribuan anak muda Hong Kong memenuhi jalan di kawasan Admiralty, Lam dengan berlinang air mata diwawancara TVB.

"Saya khawatir dan sedih," kata Lam yang menolak disebut berkhianat, sebab dirinya adalah orang Hong Kong sehingga tak akan "menjual" negerinya ke Tiongkok.

Ketika ditanya apakah pemerintahannya akan menarik RUU tersebut, Lam menyatakan akan tetap maju meski mengakui bahwa ini memang isu kontroversial.

"Yang diperlukan adalah menjelaskan dan mengkomunikasikan RUU ini. Tapi memang kita tak mungkin menghilangkan kekhawatiran, ketakutan, dan kontroversi yang ada," tukasnya, seraya meminta warga menghentikan aksi rusuh yang bisa merusak Hong Kong.

Seruan dan pernyataan Lam tampaknya akan sia-sia. Para aktivis, Kamis (13/6), menyatakan bakal terus melawan dengan turun ke jalan, dan meminta para pekerja atau pelajar melakukan boikot.

Bahkan pada Kamis pula, sekelompok pengacara pro-demokrasi dan aktivis berusaha mendatangi kediaman dinas Lam. Tapi polisi berhasil memblokade aksi mereka.

"Kami harus bersatu. Kami memanggil semua orang untuk berdemo, kita bisa menang jika bersatu," ujar politisi dan aktivis Hong Kong, Lee Cheuk-yan, sembari mengutuk Lam dan polisi.

Related

World's Fact 345763915553350309

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item