Sejarah Komik Surga dan Neraka yang Beredar di Indonesia (Bagian 1)

Sejarah Komik Surga dan Neraka yang Beredar di Indonesia

Naviri Magazine - Suatu hari, dua bayi laki-laki lahir di Jakarta. Bayi pertama, diberi nama Karma, menempati ruangan VIP di sebuah rumah sakit kelas A. Ayahnya pengusaha kelas kakap. Harta melimpah, rumahnya gedong bertaman luas. Karma dibawa pulang dari rumah sakit dengan Mercedes keluaran teranyar.

Hasan Wibisana, bayi kedua, lahir di poliklinik biasa. Dia anak orang kebanyakan yang tinggal di rumah sederhana berpagar bambu. Ayahnya membawa pulang dengan angkutan kota sewaan.

Karma dan Hasan dibesarkan dengan cara berbeda. Orangtua Karma sibuk berbisnis. Sementara orangtua Hasan mencurahkan perhatian pada anaknya: mendoakan, memasukkannya ke Taman Pendidikan Alquran, dan mengajaknya mengaji selepas Magrib.

Beranjak dewasa, laku Karma dan Hasan berlawanan. Karma pemabuk, suka main perempuan, dan hura-hura. Hasan rajin menyambangi tempat ibadah, gandrung beramal, dan hidup bak pertapa. Keduanya lalu wafat hingga dibangkitkan kembali di hari kiamat. Karma mendapat siksa tanpa ampun. Kepalanya dipukul hingga otaknya berceceran. Sedangkan Hasan mendiami surga yang indah tak terperi.

Itulah sekelumit kisah Karma dan Hasan dalam komik Indahnya Surga Pahitnya Siksa Neraka, karya dua komukis, M.B. Rahimsyah dan Syam. Dari suasana latar (gedung dan mobil) dan dialog tokohnya, tampaknya komik ini terbit pada 1990-an. Komikusnya tak menyusun panel-panel secara ajeg di setiap halaman; kadang dua panel, ada pula yang bisa sampai empat panel.

Dengan tebal 64 halaman, komik ini diterbitkan Penerbit Sandro Jaya, Jakarta. Agaknya, penerbit ini getol membuat komik murah beraliran surealis dari duo komikus yang sama.

Selain Indahnya Surga Pahitnya Siksa Neraka, tersedia pula Penghuni Neraka Wail, Penghuni Neraka Saqar, dan Siksa Bagi Para Pelacur. Pedagang buku murah di Blok M Square menjualnya Rp5.000 per komik.

“Saya membelinya karungan dari pedagang buku di Senen,” kata Marwan, 30 tahun. Dia sama sekali tak tahu profil penerbitnya.

Di Senen, Jakarta, komik ini mudah ditemukan. Bersama komik murah lainnya, seperti Negeri Tumaritis karya Tatang S., komik ini dijual lebih murah, Rp4.000 per komik.

“Jika beli banyak, bisa murah lagi,” ujar Yunus, 52 tahun, seorang pedagang. Dia mengatakan mendapatkan komik itu dari agen, bukan penerbit.

“Gampang kan mencetak komik seperti ini. Tinggal copy, lalu cetak. Yang penting punya modal. Nama penerbit bisa diakalin,” katanya sambil menunjukkan beberapa komik sejenis. Jalan cerita dan gambarnya sama persis meski komikus dan penerbitnya beda. “Ya, begini ini komik surga neraka sejak saya jualan di sini tahun 1990-an.”

Manipolisasi komik

Komik surga neraka kali pertama terbit pada 1961, berjudul Taman Firdaus, tanpa nama penerbit. Komik berharga Rp25 ini terbit berbarengan dengan kian menjamurnya komik Indonesia hasil adaptasi komik Barat. Komik Superman, misalnya, diadaptasi menjadi kisah Sri Asih karya R.A. Kosasih. Tokoh dan ceritanya hampir sama. Orang senang membacanya sehingga penerbit untung besar.

Gencarnya penerbitan komik itu mengundang reaksi pemerintah. Komik dianggap merusak cita-cita revolusi. Apalagi sentimen anti-Barat tengah membara. Di Semarang, komik-komik itu dikumpulkan dan dibakar. Kios-kios dan sekolah digeledah. Jika ketahuan menjual atau menyimpan, sanksi dan teguran bisa menimpa mereka.

Sebaliknya, produksi komik perjuangan, yang menghidupkan kenangan masa revolusi, konfrontasi dengan Inggris di Borneo dan Belanda di Irian Barat, digenjot.

Terbitnya komik surga neraka mendapat sambutan hangat pemerintah. Melalui sambutannya, seorang pejabat agama pemerintah, Muttaqien, menulis, “sebagai usaha yang bersifat pionir, saya menyambut gembira.”

Dia menilai komik ini sebagai obat terhadap buku-buku, termasuk komik, yang meracuni kehidupan anak-anak. Dia mengkritik penerbit dan pengarang yang tak punya tanggung jawab untuk menuntaskan cita-cita revolusi.

Menurutnya, minat baca anak-anak yang meluap tak seharusnya dimanfaatkan untuk mendulang rupiah. Ada tugas luhur yang diemban penerbit dan pengarang melalui karyanya. Taman Firdaus dianggap mampu mengemban tugas revolusi. Pengarangnya, K.T. Ahmar, mendapat pujian selangit. Harapan pemerintah, kelak anak-anak mampu menjadi “manusia sosial yang beragama”.

Taman Firdaus seolah menjadi prototipe komik surga neraka yang terbit belakangan. Isinya nyaris serupa dengan Indahnya Surga Pahitnya Siksa Neraka. Berkisah dua lelaki yang lahir hampir bersamaan, tapi berlatar belakang dan dibesarkan dengan cara berbeda.

Menariknya, komik ini ditampilkan sesuai kondisi zaman: sang komikus mencoba menerjemahkan dan menyebarkan cita-cita revolusi. Orangtua saleh mengasuhnya dengan kasih sayang dan doa. Termaktub di keterangan gambar, “Inilah hasil pendidikan yang baik sesuai dengan manipol usdek sapta usaha tama.”

Manipol Usdek, akronim dari Manifestasi Politik serta UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia, menjadi mantra pemerintahan Sukarno setelah mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Salah satu hasilnya, pengukuhan sistem pendidikan nasional dengan menekankan pada pembangunan nasion dan karakter yang dikenal sebagai Sapta Usaha Utama, sesuai Instruksi Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Prijono.

Di panel lainnya, Karma mendapat mainan yang berlimpah tapi tanpa perhatian orangtua. Keterangan gambar menyebut, “Pendidikan Karma terletak di tangan babu yang sering berganti-ganti.”

Lantaran itu, Karma berani menghardik seorang pengemis dengan kalimat, “Enyah kau, aki-aki busuk!” Ada yang menduga, adegan ini sebagai gambaran pertentangan kelas di Indonesia kala itu.

Baca lanjutannya: Sejarah Komik Surga dan Neraka yang Beredar di Indonesia (Bagian 2)

Related

History 5612943180190678418

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item