Sejarah Komik Surga dan Neraka yang Beredar di Indonesia (Bagian 2)

Sejarah Komik Surga dan Neraka yang Beredar di Indonesia

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Komik Surga dan Neraka yang Beredar di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Setelah Taman Firdaus, dunia komik Indonesia dibanjiri komik silat dan roman. Komik-komik ini merebut hati pembaca. Komikus seperti Djair dan Jan Mintaraga pun tersohor. Tapi, seperti pendahulunya, rezim baru yang lahir pada 1966 tak menyetujui adegan kekerasan, percintaan remaja, dan dandanan ala Barat.

“Sensor dan izin penerbitan diberlakukan dengan menggandeng Komdak VII Djaja, Pemuda Pantjasila, Kejaksaan Tinggi, Kementerian Sosial, Departemen Agama, dan Pelukis Muda,” tulis Kompas, 14 Juni 1966.

Razia pun digelar. Hingga 1970-an, banyak komik disita, bahkan yang memiliki izin terbit. Ini terjadi misalnya di Pasar Senen pada 25 Mei 1971. Pedagang dan penerbit komik pun gelisah. Agar usaha tetap berjalan, mereka memilih menerbitkan dan menjual komik surga dan neraka.

Komik ini tak tersentuh sama sekali. Di sampul belakang komik, justru terdapat pernyataan “Bacaan Islami Untuk Madrasah, SD dan Umum”. Pedagang menjualnya dengan bebas. Tempat-tempat penyewaan komik menyediakannya tanpa khawatir. Penerbit M.A. Djaja menangguk untung dari penerbitan komik-komik berjudul Neraka, Sorga Firdaus, dan Hari Pembalasan, karya Alwi S. dkk.

Komik surga dan neraka berkibar di tengah lesunya pertumbuhan komik Indonesia. Penerbit membeli hak cipta komik ini untuk 1.000 eksemplar. Tanpa sepengetahuan komikus dan penerbit, percetakan kerap mencetaknya lebih. Kurun itu, menurut Kompas, 14 Agustus 1979, komik surga neraka dijual sekira Rp150-160 per komik. Ada selisih Rp 20-30 dari biaya produksi.

Sementara biaya izin terbit ke Komdak VII hanya Rp 2.500 per judul. Biaya itu digunakan untuk cap stempel di halaman terakhir komik tiap eksemplarnya. Hanya dengan mencetak 1.000 eksemplar, penerbit sudah meraup untung besar. Keuntungan bisa lebih besar bila kecurangan percetakan bisa diatasi.

Percetakan ikut andil menyebarkan komik itu. Melalui jalur distribusi penjualan khusus, mereka mengedarkannya kepada tempat penyewaan komik. Dari tempat ini, sebuah komik disewakan dengan harga Rp 15. Anak-anak merupakan pembaca terbesarnya. Mereka biasa datang bergerombol sehingga mampu menyewa banyak komik. Komik yang disewakan memang tak hanya surga dan neraka. Ada juga komik-komik asing terjemahan. Tapi tak pelak, komik surga neraka cukup diminati.

Peluang komik agama

Maraknya peredaran komik surga neraka mendapat kritikan dari Arswendo Atmowiloto, pengamat komik. Dia mengatakan, komik ini dibuat komikus tanggung. Penggambaran maupun ceritanya tak bulat. Panel-panelnya berisi separuh badan. Wajah, gerak, kostum, dan dekor tak mengalami perubahan.

Dari sekian judul, jalan ceritanya selalu sama. Seringkali malah membingungkan pembaca. Dua sosok dengan watak jomplang satu sama lain selalu tersaji. Yang berbeda hanya jender tokohnya. Kadang lelaki, di lain waktu justru perempuan seperti dalam komik Sorga Firdaus.

Arswendo menyebut komik ini tak memberi manfaat apapun, bahkan komik sampah. “Yang begini ini jangan harap bisa memberikan informasi baru, pemecahan atas problem atau tuntutan yang lain,” tulisnya di Kompas, 14 Agustus 1979. Toh Arswendo tak setuju tindakan memaki, merazia, apalagi membakar komik itu, karena tak menyelesaikan masalah.

Sastrawan Abdul Hadi W.M. melihat perupaan surga dan neraka dalam komik sebagai tafsir awam. Ayat-ayat surga dan neraka diartikan secara harfiah. Ini berbeda dengan tafsir ala kaum sufi. Beberapa di antaranya, dalam syair-syairnya, melihat surga dan neraka sebagai keadaan jiwa, bukan tempat.

“Tapi kita tak usah pusing soal awam atau bukan. Ada yang senang dan tak senang tafsir awam. Juga dengan tafsir sufi. Yang penting, kita sudah berusaha memberikan penjelasan tentang tafsir yang lebih mungkin,” ujarnya.

Bosan dengan komik agama yang didominasi penggambaran naif surga dan neraka, Balai Penelitian Lektur Keagamaan Ujung Pandang mengadakan sayembara mengarang bacaan komik bernapaskan keagamaan, pada Agustus 1980. Mereka melihat peluang penyebaran nilai agama yang lebih santun, dan mendidik tanpa penggambaran kekerasan melalui komik.

Dalam kolom lainnya di Kompas, 26 September 1981, Arswendo berpendapat komik bertema agama mempunyai peluang sebagai bacaan menarik, asalkan komikus terbuka terhadap kreasi baru. Dia menyebut komik terbitan M.A. Djaja, Kisah Nabi Yang Tidur 100 Tahun, cukup menarik. Komikus mengkreasi dan menerjemahkan sendiri kisahnya tanpa menyeleweng jauh dari aslinya.

Meski berbagai kritik dan saran berdatangan, komik surga neraka tak pernah kehilangan pamor. Mereka bertahan hingga kini. Tema ceritanya sedikit menyesuaikan zaman. Dulu selalu tentang orang kaya dan miskin, kini Anda bisa menemukan hukuman untuk para koruptor seperti termaktub dalam Penghuni Neraka Saqar.

Dikisahkan, Harjito hidup pas-pasan sebagai pegawai negeri. Tergoda untuk membahagiakan istrinya yang cantik, dia pun melakukan korupsi hingga menjadi kaya. Malang, di tengah perjalanan pulang ke rumah, dia tewas tertimpa pohon tumbang. Di alam kubur dia mendapat siksaan. Lecutan cambuk besi memporakporandakan tubuhnya.

Ketika tubuhnya kembali utuh, rantai besi membelenggu tangan dan kakinya, lalu sebuah gergaji memotong tangan dan perutnya. Siksaan demi siksaan berlanjut hingga hari kiamat. Harjito, dan koruptor lainnya, dimasukkan ke neraka saqar, yang siksa dan panasnya beberapa kali lipat neraka jahaman. “Mereka kekal di sana.”

Apakah komik ini membuat para koruptor kapok? Jika iya, kita patut mengapresiasinya.

Related

History 6854670743813808524

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item