Memahami Definisi dan Hukum Nikah Dalam Ajaran Islam

 Memahami Definisi dan Hukum Nikah Dalam Ajaran Islam

Naviri Magazine - Nikah merupakan ibadah yang dianjurkan oleh Rasulullah bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:

“Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).

Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:

“Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda, disesuaikan dengan kondisi seseorang, dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

Sunah

Hukum nikah adalah sunah, karena nikah dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya, sebagaimana hadits Nabi, riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini:

“Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”

Sunah ditinggalkan

Nikah dianjurkan atau disunahkan untuk tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri.

Dalam kondisi ini, sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa, sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.

Makruh

Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.

Lebih utama jika tidak menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.

Lebih utama jika menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.

Demikian keterangan beberapa hukum nikah dan kondisinya, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Related

Relationship 3288728312499178187

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item