Kisah Ho Chi Minh dan Sejarah Kemerdekaan Vietnam (Bagian 7)

Kisah Ho Chi Minh dan Sejarah Kemerdekaan Vietnam

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Ho Chi Minh dan Sejarah Kemerdekaan Vietnam - Bagian 6). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada 2 September 1945, setelah kondisi tubuhnya sehat, Ho Chi Minh, di depan ribuan rakyat Vietnam, memproklamasikan kemerdekaan Republik Demokrasi Rakyat Vietnam. Di antara ribuan orang yang hadir itu tidak pernah tahu bagaimana rupa dan wujud Ho Chi Minh, mereka selama ini hanya mendengar nama pemimpin mereka.

Baru kali itu mereka menyaksikan bagaimana wujud pimpinannya, yang kurus, kecil, sederhana, hanya mengenakan baju seperti petani, dan menggunakan sandal yang juga digunakan para petani ketika bekerja di sawah. Terlihat raut wajah yang mulai kelihatan tua, tetapi tampak berwatak keras.

Di sekitar panggung tempat dibacakan proklamasi kemerdekaan itu dihiasi bendera merah dengan tanda bintang kuning di tengah. Rakyat menyambut riang gembira setelah pembacaan proklamsi kemerdekaan. Mereka menganggap kemerdekaan yang telah dinantikan lama itu sudah sampai.

Berikut adalah cuplikan pidato proklamasi kemerdekaan, yang dibacakan oleh Ho Chi Minh:

“Kami memegang Teguh kenyataan-kenyataan bahwa semua manusia sama-sama dititahkan, bahwa mereka dilengkapi oleh Pencipta dengan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan, yaitu Penghidupan, Kemerdekaan, dan Kebahagiaan.

“Dalam waktu 80 tahun ini, kaum imperialis Perancis meninggalkan prinsip-prinsip Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan, dan memperkosa hak-hak kedaulatan negeri warisan nenek moyang, dan menindas rakyat kita. Tindakan mereka sudah nyata-nyata bertentangan dengan cita-cita kemanusiaan dan keadilan.

“Mereka lebih banyak mendirikan penjara daripada rumah dan sekolah. Mereka menyakiti dan menyiksa rakyat kami. Mereka dengan kejam menindas revolusi-revolusi kami hingga banyak darah mengalir.

“Dengan tiada henti mereka menguasai ladang kami, tambang, hutan, dan bahan mentah. Mereka mengakui berhak mengeluarkan uang kertas, dan memonopoli semua perdagangan dengan luar negeri.

“Pada musim gugur 1940, ketika kaum fasis Jepang dalam usahanya untuk memukul pasukan sekutu, memasuki Indo Cina dan mendirikan pangkalan perang, kaum imperialis Perancis menyerah, bertekuk lutut dan memberikan negeri kami pada mereka.

“Dalam hakekatnya sejak musim gugur 1940, negeri kami berhenti menjadi jajahan Perancis dan menjadi milik Jepang.

“Sesudah Jepang takluk, rakyat kami serentak bangun dan memproklamirkan kedaulatan mereka, dan mendirikan Republik Demokratis Rakyat Vietnam.

“Kami, anggota-anggota pemerintahan sementara Republik Demokratis Rakyat Vietnam, dengan hikmad menerangkan kepada seluruh dunia:

“Vietnam mempunyai hak untuk merdeka, dan sesungguhnya telah menjadi negara merdeka. Rakyat Vietnam memutusan memobilisir segala tenaga, baik yang bersifat batin maupun yang bersifat lahir, dan mengorbankan jiwa dan benda untuk mempertahankan Hak Kemerdekaan dan Kebebasan.”

Hanoi, 2 September 1945

Tertanda: Ho Chi Minh - Presiden; Tran Huy Lieu, Vo Nguyen Giap, Chu Van Ta, Pam Van Dong, Le Van Hien, dll (21 orang yang menyetujui teks proklamasi ini).

Pada 13 September 1945, pasukan udara Inggris yang terdiri dari 30 pesawat Dakota mendarat di Saigon, Vietnam. Tugas mereka adalah melucuti tentara Jepang dan melepaskan tawanan Sekutu dan kaum interniran (APWI). Tentara Sekutu yang mendarat di Vietnam dipimpin oleh Mayor Jendral Gracey.

Pada awalnya, kedatangan pasukan Sekutu disambut meriah oleh rakyat Vietnam, tetapi suasana gembira itu berubah menjadi kekhawatiran dan dendam. Bersama tentara Inggris itu, ternyata ikut diam-diam tentara Perancis di bawah pimpinan Kolonel Cedille.

Tentara Perancis ini mulai menempelkan pamfet-pamflet yang isinya membusukkan nama-nama pemimpin Vietnam. Pemimpin-pemimpin itu dinamakan oleh mereka sebagai kolaborator Jepang.

Bagi pemimpin-pemimpin Vietnam dan rakyat, peranan yang dimainkan Inggris lambat laun semakin jelas. Dengan berkedok melucuti tentara Jepang dan memulihkan keamanan, Inggris bermaksud mengembalikan Perancis untuk kembali menguasai Vietnam.

Seminggu setelah mendarat di Saigon, Mayjend Gracey mengumumkan sebuah maklumat yang isinya mengatakan bahwa penduduk dilarang membawa atau memiliki senjata. Barang siapa yang diketahui membawa atau memiliki senjata, maka akan ditangkap.

Rakyat Vietnam resah. Pada 23 September 1945, tentara Inggris dan tentara Perancis menyerbu gedung-gedung yang dikuasai pemerintah Vietnam. Kontak senjata tidak dapat ditahan, pecah perang antara Tentara Rakyat Vietnam dengan pasukan Inggris dan Perancis. Ledakan granat serta rentetan senapan mesin memecah suasana pagi.

Pada siang hari, tidak tampak rakyat Vietnam di jalanan, semua orang bersembunyi, melihat aksi tentara Inggris dan Perancis. Teror dilakukan oleh mereka; wanita, anak-anak, orang tua, dibunuhi di seluruh penjuru kota.

Kota Saigon sunyi seperti kota mati. Tetapi, pada saat matahari mulai tenggelam, dimulailah serangan balasan dari Tentara Rakyat Vietnam yang dibantu oleh pasukan/milisi/laskar gerilya rakyat.

Gedung-gedung yang dikuasai oleh tentara Inggris dan Perancis diserang. Gedung-gedung yang masih berdiri dibakar semua, sehingga malam sampai keesokan harinya kota Saigon terbakar hebat. Yang tersisa hanya reruntuhan bangunan. Sementara tentara dan pasukan gerilya Vietnam sudah lari ke hutan. Politik bumi hangus dilancarkan oleh pasukan gerilya.

Itu kejadian yang ada di Selatan. Di Utara, di kota Hanoi, juga terjadi insiden yang lain. Perancis mengadakan serangan mendadak, dan mengadakan perjanjian dengan pasukan Cina, Kuo Mintang, yang saat itu bertugas menjadi tentara perdamaian. Perancis memerintahkan agar pasukan Kuo Mintang mundur dan menyerahkan penjaga keamanan kepada pihak tentara Perancis.

Puncak dari semua peristiwa yang terjadi di Saigon (Selatan) dan di Hanoi (Utara) adalah “Inciden Haipong” pada 20 November 1946, ketika pasukan Perancis menahan perahu nelayan Vietnam. Ini dianggap pelanggaran kedaulatan, karena pasukan Inggris dan Perancis hanya diizinkan berada di kota-kota besar saja.

Haipong adalah daerah yang menjadi pintu masuk ke seluruh Vietnam. Dengan dikuasainya Haipong oleh tentara Perancis, maka dimulailah perang terbuka antara rakyat Vietnam dengan pasukan kolonial Perancis.

Semenjak akhir 1946 itulah, dimulainya satu periode baru perjuangan rakyat Vietnam untuk pembebasan nasionalnya, dengan cara melancarkan perang gerilya jangka panjang di hutan-hutan belantara, melawan tentara pendudukan Perancis (sampai 1954), dan dilanjutkan dengan perlawanan terhadap tentara pendudukan Amerika Serikat (sampai 1975).

Related

History 1712797213406966193

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item