Pentingnya Memiliki dan Menjaga Merek Bagi Setiap Perusahaan

Pentingnya Memiliki dan Menjaga Merek Bagi Setiap Perusahaan

Naviri Magazine - Lebih dari sekadar identitas, merek, kata pakar Manajemen Merek, Kevin Keller, bisa memberikan makna tersendiri bagi konsumen.

“Konsumen bisa merasakan suatu brand dari pengalaman menggunakannya dan program-program pemasaran yang diberikan produk tersebut selama bertahun-tahun. Mereka bisa tahu brand mana yang dapat memenuhi kebutuhannya dan mana yang tidak. Sebagai akibatnya, brand bisa sangat memengaruhi keputusan untuk membeli,” terang Keller sebagaimana dilansir marketing.co.id.

Merek bukan sekadar perkara nama. Ia bisa berwujud istilah, tanda, simbol, desain, atau kombinasi semuanya yang berfungsi untuk mengenali sekaligus membedakan satu produk atau jasa dari produk maupun jasa yang ditawarkan pihak lain.

Menariknya, sebuah merek kadang tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional penggunanya, namun juga memenuhi kebutuhan emosional bahkan spiritual mereka. Dalam konteks semacam inilah, keberadaan sebuah merek tak bisa dipandang sebelah mata.

“Merek bagi sebuah perusahaan tak ubahnya reputasi bagi diri seseorang. Anda mendapatkan reputasi dengan berusaha melakukan hal-hal sulit dengan baik,” kata Jeff Bezos, pemilik Amazon.

Beberapa waktu belakangan, pemerintah di sejumlah negara gencar melakukan pembatasan merek atau brand restriction. Tujuannya melindungi konsumen dari produk-produk yang dianggap berbahaya. Namun demikian, aturan tersebut justru berbuah simalakama.

Praktiknya, pembatasan merek dilakukan dalam beberapa cara: mulai dari pengenaan fiskal, kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan pada kemasan, hingga yang paling ekstrem keharusan menggunakan kemasan polos atau plain packaging. Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi daya tarik produk.

Mula-mula diniatkan sebagai upaya melindungi konsumen dari produk-produk yang dinilai mengancam kesehatan, tren pembatasan merek muncul dari penerapan kemasan polos pada produk rokok di Australia (2012). Sejak saat itu, negara-negara seperti Perancis dan Inggris turut menerapkan aturan serupa. Di Asia, kebijakan yang sama, dalam waktu dekat bakal diadopsi Thailand dan Singapura.

Pada 2017, situs Austrian Economics Center menulis: “Lima tahun lalu, kemasan polos untuk tembakau diperkenalkan di Australia. Sejak itu, banyak negara mengikuti, tetapi mungkin lebih baik melihat dampaknya di Australia—hasilnya agak buruk.”

Sebagai gambaran, data National Drug Strategy Household Survey (NDSHS) menyebut secara statistik tak ada penurunan signifikan soal tingkat merokok harian di Negeri Kanguru: dari 12,8% pada 2013 menjadi 12,2% pada 2016.

Jika pembatasan merek di sejumlah negara fokus pada rokok dan alkohol, di Chili, sejak tiga tahun lalu, aturan tersebut bahkan sudah menyentuh produk makanan. Produsen-produsen makanan yang dinilai mengandung kalori tinggi diharuskan memberi label tanda “stop” pada kemasan produk mereka.

Terang saja, para pemilik merek melayangkan protes kepada pemerintah, sebab aturan tersebut dianggap menyulitkan konsumen dalam mengenali sebuah produk—dan di saat bersamaan membuka celah pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Adapun di Afrika Selatan, pada 2017, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan agar produk-produk minuman beralkohol dilengkapi gambar peringatan yang sangat jelas, dengan porsi seperdelapan total label kemasan.

Lepas dari aturan tersebut, setahun kemudian Afrika Selatan malah tercatat ke dalam 6 besar negara pengonsumsi minuman beralkohol di dunia. WHO menyebut, alih-alih minuman bermerek, masalah besar terkait minuman beralkohol di negara tersebut justru terletak pada shebeen—bar-bar yang menjual minuman ilegal.

Related

Business 2373363289229293931

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item