Ini Penyebab Sebagian Besar Produk Gagal di Pasaran Saat Mulai Dijual

Ini Penyebab Sebagian Besar Produk Gagal di Pasaran Saat Mulai Dijual

Naviri Magazine - Pemerintah Indonesia telah menerapkan peringatan kesehatan bergambar pada industri rokok. Aturannya: tampilan gambar peringatan harus terpampang 40% pada kemasan tembakau. Ironisnya, meski tak ada bukti bahwa aturan tersebut berhasil, pihak Kementerian Kesehatan justru mengusulkan agar ketentuan tersebut ditingkatkan hingga 90%.

Sejumlah pihak menilai, ketika kebijakan pembatasan merek dan kemasan polos produk diterapkan, dampaknya tidak hanya merugikan pelaku industri, namun juga konsumen.

Bagi konsumen, minimnya identitas dan informasi akan menyulitkan mereka dalam membedakan produk, serta membatasi kebebasan mereka memilih produk yang diinginkan. Sementara bagi industri, aturan ini berpotensi membatasi kreativitas dan inovasi perusahaan dalam rangka menjaga kelangsungan identitas brand atau produknya.

Dampak lainnya: kemasan polos juga berpeluang membuka celah bagi masuknya produk-produk palsu atau ilegal. Di Australia sendiri, dua tahun setelah kebijakan kemasan polos diterapkan, jumlah tembakau ilegal justru meningkat hingga 30%. Akibatnya, sebagaimana tertuang dalam laporan “Tembakau Gelap di Australia 2016”, negara kehilangan pajak sebesar $1,6 miliar AUD.

“Ketika semua kemasan terlihat sama, konsumen jadi kurang sadar akan perbedaan merek. Ini dikenal sebagai 'komoditisasi', yang sering mengakibatkan konsumen memprioritaskan harga di atas pertimbangan kualitas lainnya,” tulis W. Scott Thurlow.

Kebijakan pembatasan merek dianggap sebagai kemunduran, karena dilihat dari sisi pelaku usaha hal demikian membatasi ruang gerak mereka untuk menghidupkan identitas produk. Sedangkan dilihat dari sudut pandang konsumen, hal tersebut berpotensi menimbulkan kekhawatiran berlebih, dengan adanya gambar peringatan kesehatan.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Packaging Federation pada 24 Juli 2019 lalu, kecemasan menghilangnya identitas karena pembatasan merek ini mencuat. Para pelaku usaha yang hadir dalam diskusi tersebut, terutama dari produsen makanan dan minuman, mengaku akan kesulitan melakukan positioning produknya di tengah pasar, jika branding serba dibatasi.

Yang terjadi, sekali lagi: produk tampak seragam, satu sama lain tidak punya kekhasan, dan itu bisa menyulitkan konsumen memilah produk yang tepat bagi kebutuhannya.

Omong-omong soal merek, Samir Dixit, Managing Director dari Brand Finance Asia Pacific of Brand Finance PLC, menyatakan bahwa entitas penting tersebut punya kekuatan yang pengaruhnya tidak hanya dirasakan konsumen sebagai pengguna akhir, namun juga pada pemegang saham dan nilai bisnis.

"Setiap tahun, sekitar 95% produk baru gagal di pasaran karena kesalahan branding. Merek dan kemasan diperlukan agar konsumen terinformasi dengan baik akan kandungan produk, latar belakang produsen, distributor, dan lain-lain,” katanya.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI), Freddy Harris, menegaskan, mengangkat sebuah merek bukan urusan gampang. Agar sebuah merek diterima masyarakat, butuh konsistensi, komitmen, investasi, dan lain sebagainya.

Karena itulah, selama pemangku kebijakan punya itikad baik memenuhi kebutuhan produsen dan konsumen, aturan soal pembatasan merek justru bertolak belakang dari konsep merek itu sendiri.

Related

Business 7483774645746944930

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item