Biografi Salman Rushdie dan Kisah Bukunya yang Kontroversial

Biografi Salman Rushdie dan Kisah Bukunya yang Kontroversial

Naviri Magazine - Salman Rushdi lahir di kota Devanegari, Bombai, India, pada 19 Juni 1947. Setelah Pakistan berdiri, ia bersama keluarganya pindah ke Karachi, dan setelah itu berimigrasi ke Inggris.

Ia ke Inggris ketika berumur 13 tahun, dan menyelesaikan sekolahnya di sana. Setelah menyelesaikan kuliah di jurusan sejarah di universitas Cambridge, ia kembali ke Pakistan. Dengan menulis artikel selama di Inggris, ia dapat membayar sebagian biaya sekolahnya sendiri. Akhirnya ia pindah menjadi warga negara Inggris.

Tujuh tahun setelah menulis artikel, ia akhirnya berhasil menulis novel berjudul Midnight’s Children, pada 1981. Dengan buku itu, ia mendapat hadiah sastra Inggris, Booker Prize. Buku itu isinya mengkritik perlawanan rakyat India untuk merdeka dari tangan Inggris. Sekitar setengah juta buku itu terjual.

Pada 1983, ia menulis buku berjudul Shame, berkisah tentang kondisi Pakistan. Sementara buku The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey 1987 adalah hasil dari perjalanan 3 minggunya ke Nikaragua.

Gaya penulisannya adalah realisme, namun dengan mengubah semua tokoh asli, begitu juga tempat kejadian. Gaya penulisannya tidak mengikuti pakem yang ada selama ini. Ia sesuka hati menulis apa saja, dan menisbatkannya kepada siapa saja yang disukainya.

Bukunya yang paling menyedot perhatian adalah The Satanic Verses, yang dikenal dengan nama Ayat-ayat Setan. Buku ini ditulisnya pada 1988.

Latar belakang penulisan Ayat-ayat Setan

Menganalisa cara berpikir Salman Rushdi, dapat lacak dari keluarganya. Ibunya adalah seorang penari bernama Vanita. Pada masa remajanya, ia disukai oleh seorang pemuda bernama Raju.

Vanita, lewat Salim Khan, gubernur Bombai, beberapa kali melakukan penghinaan terhadap masjid. Pernah, ia meletakkan kepala babi di undak-undakan masjid, kemudian lari menyembunyikan diri. Ia juga pernah membakar upacara orang-orang Hindu, dan menyebarkan bahwa itu dilakukan oleh kaum muslim. Setiap kali ia melakukan penghinaan, ia mendapat bayaran dari Salim Khan.

Rupanya, Salim Khan juga tertarik dengan Vanita, dan hendak mempersuntingnya. Sebagai jawabannya, ia menjawab, “Aku menikah karena uang, dan kalau kau punya uang, aku menjadi milikmu.”

Setelah setuju, ia akhirnya menikah dan dibawa ke istana. Ia menghabiskan malamnya di istana Lord William, dan sejak malam itu tidak keluar dari istana.

Ketika Lord William dipanggil untuk kembali ke Inggris, ia berkata kepada Vanita, “Aku punya istri di Inggris, dan ayahnya punya pengaruh kuat di sana. Aku tidak dapat membawamu ke sana.”

Lord William pergi. Vanita kembali ke pelukan Raju, yang masih menantinya. Setelah Vanita melahirkan anaknya, ia meninggal. Raju membawa anak itu, dan meninggalkannya di masjid. Seseorang bernama Safdar menemukan bayi tersebut, dan membawanya pulang ke rumah. Ia kemudian memberinya nama Salman. Ia besar di keluarga muslim.

Semenjak kecil, ia terkenal nakal. Pada umur tiga belas tahun, ia sudah tiga belas kali ditahan polisi. Pada masa itu, istri Lord William meninggal. Karena tidak punya anak dari istrinya, ia kemudian mengingat Vanita dan anaknya. Ia mengirim surat kepada Salim Khan, untuk menemukan anaknya.

Lewat Raju, Lord William menemukan Salman. Ketika tahu bahwa dia anak seorang perwira Inggris, ia sangat senang. Ia kembali ke rumah. Di rumah, ia menemukan ibu angkatnya tengah menunaikan salat. Ketika sujud, ia menginjak kepala ibu angkatnya, hingga kepalanya terluka. Ia keluar dari rumah, dan kemudian berangkat ke Inggris.

Ia kemudian masuk asrama, melanjutkan sekolahnya di Inggris. Di sana ia berkenalan dengan Umar, anak Mesir. Mereka kemudian menjalin percintaan, dan sepakat untuk menikah. Mereka akhirnya membuka ajaran-ajaran agama yang memperbolehkan perkawinan sesama jenis. Mereka tidak menemukan ajaran yang memperbolehkan.

Ketika Madame Rosa, ibu asrama, mengetahui gelagat ini, ia menyurati ayah Umar yang berpangkat jenderal. Ayahnya datang untuk membawa anaknya pulang ke Mesir. Umar, yang begitu cinta kepada Salman, akhirnya membakar dirinya. Setelah Umar meninggal, Salman sangat terpukul, dan memutuskan untuk membalaskan dendamnya terhadap agama.

Ayat-ayat Setan

Salman Rushdi menulis banyak buku. Bila jeli melihat karangan-karangannya, kebanyakan isinya menghina agama dan keyakinan masyarakat setempat. Dalam buku Grimus (1975), secara terang-terangan ia menghina keyakinan orang-orang India. Buku Shame (1983) ditulisnya juga dengan isi yang sama.

Midnight’s Children (1981) ditulis untuk mengkritik perjuangan rakyat India mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Buku The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey (1987) terkait dengan situasi politik di Nikaragua dan keyakinan masyarakatnya.

Puncak penghinaannya terhadap agama dengan menulis novel berjudul The Satanic Verses (1988). Ia menulis buku ini pada usia 47 tahun. Sebelum menulis buku ini, ia ikut hadir dalam sebuah pertemuan yang bermaksud untuk menghancurkan agama tidak lagi dengan senjata, tapi dengan tulisan. Tujuan itu terealisasi dengan diterbitkannya buku ini.

Pertama kali, ketika dicetak dalam 547 halaman, buku ini dicetak oleh penerbit Viking, anggota jaringan penerbit Penguin. Salman Rushdi menulis buku ini karena pesanan pimpinan Viking, seorang Yahudi, dengan bayaran gila-gilaan, 850 ribu pound. Buku Ayat-ayat Setan bukan buku ilmiah, melainkan sekadar fantasi penulis.

Imam Khomeini cepat tanggap terhadap rencana di balik penerbitan buku itu. Ia kemudian mengeluarkan fatwa hukuman mati. Umat Islam tersadar, dan ini membuat Barat lebih berhati-hati.

Inggris, sebagai pembela nomor satu Salman Rushdi, mencoba menekan Iran dengan ancaman ekonomi dan politik, agar Imam Khomeini menarik kembali fatwanya. Tidak cukup itu saja, dengan menggerakkan 12 negara lainnya, mereka kemudian memburukkan citra Iran dan Imam Khomeini.

Di balik tekanan dari negara-negara Barat, keteguhan Imam Khomeini membuat mereka lelah, dan kemudian pasif menerima. Di sisi lain, ini seperti meniupkan semangat baru ke dunia Islam.

Penerbit buku Ayat-ayat Setan, Viking, langsung mengeluarkan pernyataan: “Penerbit dan penulis tidak punya maksud menyakiti kaum muslim. Kami sangat menyesal dengan kejadian ini. Penerbitan buku Ayat-ayat Setan dilakukan karena ditulis oleh seorang penulis top dan isinya fiktif. Penerbitannya karena menghormati kebebasan berekspresi. Salah satu prinsip demokrasi.”

Salman Rushdi sendiri, dalam wawancaranya dengan CBS mengatakan, “Buku ini punya dua khayalan yang coba saya hubungkan dengan munculnya agama yang mirip dengan Islam. Tapi ini sebuah Islam khayalan. Tokoh yang berkhayal dalam buku itu, pada intinya akalnya telah hilang, gila. Bila seorang berkhayal semacam ini, sangat aneh bila tulisan ini dianggap menghina Islam. Sama sekali saya tidak berniat begitu.”

Sempat muncul bisik-bisik di Iran, bahwa bila Salman Rushdi bertobat, mungkin saja tobatnya diterima. Namun, hal ini ditolak oleh kantor Imam Khomeini.

Related

Figures 2384458904434057906

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item