Media Sosial, Sarana Komunikasi yang Berubah Jadi Medan Perang

Media Sosial, Sarana Komunikasi yang Berubah Jadi Medan Perang

Naviri Magazine - Media sosial, yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi, berubah menjadi medium sosial dan politik yang sangat kuat.

Studi bertajuk "Media Sosial dan Revolusi Politik: Memahami Kembali Fenomena 'Arab Spring' dalam Perspektif Ruang Publik Transnasional" yang dimuat di jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (2014), menyimpulkan dinamika revolusi Arab Spring sangat dipengaruhi oleh warga yang aktif bersuara soal gerakan politik melalui media sosial.

Tak hanya Arab Spring. Pada 6 April 2009 di Moldova, demonstran memprotes hasil pemilihan legislatif yang dimenangkan oleh Partai Komunis Republik Moldova. Kemenangan partai tersebut dianggap sebagai kecurangan. Demonstran menghendaki perhitungan suara ulang. Sebagian besar demonstran memanfaatkan Twitter untuk berdiskusi dan mengorganisir diri.

Sialnya, menurut Helen Mergetts dalam studinya, Political Turbulence: How Social Media Shape Collective Action (2015), media sosial sesungguhnya tidak penting-penting amat; ini hanya sebatas medium saja. Ini senada dengan skeptisisme Zeynep Tufekci, dosen pada University of Nort Carolina.

Sebagaimana dikutip dari Vice Motherboard, Tufekci mengatakan bahwa media sosial memang menekan ongkos "koordinasi di lapangan", sehingga orang mengira Facebook atau Twitter berhasil memberdayakan mereka. Sayangnya, dalam jangka panjang, media sosial justru membuat diri mereka tak berdaya.

Tren media sosial sebagai alat revolusi telah mereda. Namun, medium ini masih diperebutkan untuk memengaruhi massa. Kontributor Pasific Standard, Noah Berlatsky, mengungkapkan, kini media sosial jadi medan tempur antara kaum konservatif dengan kaum kiri, sosialis, pembela kesetaraan, anti-rasisme, feminis, dan pendukung hak-hak LGBTQ.

Tak hanya itu, Trump, presiden pilihan kaum konservatif, menuding media-media arus utama seperti The New York Times dan CNN sebagai biang hoaks.

Pada 2018 lalu, majalah Mother Jones menerbitkan bagaimana kanal sayap kanan bisa tumbuh pesat dan menyediakan logistik perang di media sosial. Contoh yang disebutkan adalah aktivis konservatif Dennis Prager.

Melalui kanal Youtube PragerU, Prager merilis video-video persuasif yang berargumen bahwa polisi tidak bias terhadap orang kulit hitam (di saat banyak sekali kasus rasisme polisi kulit putih) hingga perubahan iklim yang dianggapnya hoaks belaka. Video-video PragerU di Youtube menyatakan bahwa upah minimum di bawah $15 per jam di AS tak bermasalah, dan menyangkal kesenjangan gender.

Sialnya, meskipun berisi konten-konten menyesatkan, video PragerU di Youtube sukses besar. Diperkirakan, 100 juta warga AS telah menonton video PragerU di Youtube.

Banyak orang terpengaruh. Banyak orang akhirnya larut dalam arus kebencian terhadap imigran, LGBTQ, gerakan buruh, perempuan, warga kulit hitam, dan seterusnya.

Related

Internet 9011242547416073729

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item