Kisah Jatuhnya Soekarno, Naiknya Soeharto, dan Lahirnya Orde Baru

 Kisah Jatuhnya Soekarno, Naiknya Soeharto, dan Lahirnya Orde Baru

Naviri Magazine - Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa, di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain, menculik dan membunuh enam orang jendral.

Pada peristiwa itu, Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta, adalah Mayor Jenderal Soeharto.

Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965, oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya.

Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya.

Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto, untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, dan penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September).

Tindakan ini, menurut pengamat internasional, dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis, yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya, khususnya Panglima Angkatan Udara, Laksamana Udara Omar Dhani, yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif.

Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia, yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia.

Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika, 25 tahun kemudian, mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia, dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia.

Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta, mengatakan pada 1990 bahwa, "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana Anda harus memukul keras pada saat yang tepat."

Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965, mengatakan, "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, mereka dibantai."

Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat pada 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf.

Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi, agar mengambil tindakan yang dianggap perlu, demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.

Sehari kemudian, 12 Maret 1996, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang di Indonesia.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS dilakukan pada Maret 1967. Soeharto, yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966, ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.

Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan.

Pada 1 Juni 1968, mulai dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun".

Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden, yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.

Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata, dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.

Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi kisah hidupnya sebagai seorang penguasa.

Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.

Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali menjadi presiden untuk periode ketiga kalinya, dan Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia.

Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar, dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.

Beberapa pengamat politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh, dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina, dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin).

Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis, dan yang disebut "musuh negara", dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).

Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini, dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto, tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an.

Karena kekayaan sumber daya alam dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat, dan begitu juga pengiriman senjata dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengunjungi Washington pada 1995, pejabat administratif Clinton, dikutip di New York Times, mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".

Related

History 3514971813256867648

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item