Bersedekah untuk Keluarga atau Orang Lain, Mana Lebih Baik?

Bersedekah untuk Keluarga atau Orang Lain, Mana Lebih Baik?

Naviri Magazine - Selain menjalankan ibadah-ibadah pokok, seseorang belum dianggap mendapat kebaikan hingga rela memberikan harta yang dicintai. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali Imran: 92)

Selain Al-Qur’an, banyak hadits yang menegaskan keutamaan orang yang mau bersedekah. Di antaranya bahwa bersedekah bisa mematikan panasnya alam kubur, bisa memberikan naungan pada hari kiamat kelak, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Amir, mengatakan:

“Sesungguhnya sedekah pasti bisa meredam orang-orang yang melaksanakannya dari hawa panasnya kubur. Pada hari kiamat, orang yang beriman akan mendapat naungan (berteduh) di bawah sedekahnya (saat di dunia).” (Syu’abul Iman: 3076). 

Kemudian, apabila ada orang ingin bersedekah namun bingung mana yang semestinya didahulukan antara memberikannya kepada keluarga terlebih dahulu atau orang lain, bagaimana sebaiknya? 

Menurut penyataan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili lebih utama dibandingkan yang lain, berdasarkan referensi beberapa hadits.

“Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih utama daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal tersebut sangat banyak dan terkenal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 238) 

Di antara hadits yang dibuat dasar pernyataan Imam Nawawi adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri berikut.

“Suatu ketika, Rasulullah keluar menuju masjid guna menunaikan ibadah shalat Idul Adha atau Idul Fitri. Sehabis shalat, beliau menghadap warga sekitar, memberikan petuah-petuah kepada masyarakat, dan menyuruh mereka untuk bersedekah. ‘Wahai para manusia. Bersedekahlah!’ pesan Nabi. 

“Ada beberapa wanita yang tampak lewat, terlihat oleh Baginda Rasul. Rasul pun berpesan ‘Wahai para wanita sekalian, bersedekahlah! Sebab saya melihat mayoritas dari kalian adalah penghuni neraka!’ 

“Para wanita yang lewat menjadi heran, apa korelasinya menjadi penghuni neraka dengan bersedekah, sehingga mereka bertanya, ‘Kenapa harus dengan bersedekah, Ya Rasul?’

“Rasulullah menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap suami. Aku tidak pernah melihat seseorang yang akal dan agamanya kurang namun bisa sampai menghilangkan kecerdasan laki-laki cerdas, kecuali hanya di antara kalian ini yang bisa, wahai para wanita.’

“Sehabis Rasulullah berkhutbah di hadapan masyarakat, beliau bergegas pulang ke kediaman. Setelah sampai rumah, Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, meminta izin untuk diperbolehkan masuk, sowan kepada Baginda Nabi. Nabi pun mempersilakan.  Ada yang memperkenalkan, ‘Ya Rasulallah, ini Zainab.’ 

“Rasul balik bertanya, ‘Zainab yang mana?’

“‘Istri Ibnu Mas’ud.’

“‘Oh ya, suruh dia masuk!’

“Zainab mencoba berbicara kepada Nabi, ‘Ya Rasul. Tadi Anda menyuruh untuk bersedekah. Ini saya punya perhiasan. Saya ingin mensedekahkan barang ini. Namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira dia dan anaknya lebih berhak saya kasih sedekah daripada orang lain.’

“Rasul pun menegaskan, ‘Memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud. Suami dan anakmu lebih berhak kamu kasih sedekah daripada orang lain.’” (HR. Bukhari: 1462) 

Adanya hadits di atas, para ulama berpijak bahwa bersedekah kepada keluarga lebih diutamakan daripada orang lain. Meskipun begitu, ada juga murid-murid Imam Syafi’i yang berpandangan tidak ada perbedaan sama sekali tentang mana yang perlu didahulukan. 

“Teman-teman kami (bermazhab Syafi’i) mengatakan, ‘tidak ada perbedaan pada sedekah yang sunnah antara keluarga dekat yang harus dinafkahi harus didahulukan daripada orang lain atau sebagainya. Menurut Al-Baghawi, memberikan kepada keluarga dekat yang menjadi tanggung jawab nafkahnya, lebih utama dibandingkan sedekah kepada orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 238). 

Berbeda dengan mereka, Imam Baghawi mengungkapkan, tetap ada perbedaan dalam masalah keutamaan. Garda terdepan yang paling utama menerima sedekah adalah keluarga yang menjadi tanggung jawab nafkah, seperti istri, anak-anaknya sendiri yang masih kecil, dan sebagainya. 

Hal ini senada dengan komentar Syekh Abu Bakar Syatha, penulis kitab I’anatuth Thalibin. Hanya saja, ada sedikit perbedaan mana yang semestinya didahulukan dalam keluarga itu sendiri.

Jika Imam Baghawi dan Syekh Abu Bakar menyuruh untuk keluarga yang mempunyai tanggung jawab nafkahnya, Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitab Fathul Mu’in justru mengatakan bahwa urutannya sebagai berikut:

“Memberikan sedekah sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi tanggung jawab nafkahnya itu lebih utama. Baru kemudian kerabat paling dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber dari keluarga yang haram dinikah (mahram), suami/istri, kemudian kelurga non-mahram, keluarga dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah mertua.” (Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I], halaman 257) 

Uraian di atas tidak bisa dibuat alasan bagi orang-orang pelit untuk menutupi kemalasannya bersedekah kepada orang di luar rumah.

Ada sedikit catatan menarik dari Imam Nawawi yang mengutip dari ashabus Syafi’i bahwa skala prioritas sebagaimana urutan di atas semestinya tetap harus mempertimbangkan kemampuan finansial penerima. Artinya, keluarga yang masuk kategori mustahiq zakat lebih utama untuk didahulukan daripada orang lain.

“Menurut sahabat-sahabat kami, disunnahkan pada sedekah yang sunnah, zakat, kaffarah untuk diterimakan kepada sanak kerabat jika memang mereka adalah orang yang masuk kategori mustahiq zakat. Jika mereka masuk kategori tersebut, lebih utama daripada diberikan kepada orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 220). 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memprioritaskan pemberian sedekah kepada sanak kerabat, jika memang mereka mempunyai kategori fakir, miskin, atau gharim (orang yang banyak utangnya).

Pengertian “tidak mampu” di sini mengacu pada standar sangat rendah, yaitu batas orang berhak menerima zakat, bukan tidak mampu secara strata sosial yang masing-masing wilayah bisa jadi berbeda sudut pandangnya. 

Apabila dalam keluarga tersebut tidak ada orang yang berhak menerima zakat, semestinya sudah tidak ada skala prioritas antara keluarga dengan non keluarga. Wallahu a’lam. 

Related

Moslem World 1657648503939732066

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item