Memahami Budaya Selamatan Kehamilan Dalam Pandangan Islam

Memahami Budaya Selamatan Kehamilan Dalam Pandangan Islam

Naviri Magazine - Di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, ada budaya di mana orang yang memiliki istri sedang hamil akan mengundang para tetangga dan sanak saudara untuk hadir ke rumahnya, dalam sebuah acara selamatan atau kenduri.

Di Jawa, bila acara ini diselenggarakan ketika usia kehamilan empat bulan, disebut mapati. Istilah ini diambil dari kata papat, yang berarti empat. Sedangkan bila acara selamatan dilakukan ketika usia kandungan tujuh bulan, disebut mituni atau sering diucapkan mitoni. Istilah itu diambil dari kata pitu, yang berarti tujuh.

Atas budaya tersebut, ada sebagian orang yang mempertanyakan keabsahan pelaksanaan acara selamatan itu. Adakah dalil dan anjuran dalam agama Islam tentang itu? Adakah Rasulullah pernah memerintahkan atau mencontohkan hal itu?

Jelas, bila yang dikehendaki adalah dalil, anjuran, atau perintah yang secara langsung menyebutkan nama kegiatan itu tak akan pernah ditemukan di sumber hukum Islam mana pun. Namun, bila kita mau mempelajari dengan baik, kita bisa menemukan dalil-dalil yang secara substansi bisa menjadi dasar keabsahan melakukan acara selamatan semacam itu.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibu selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari juga.

“Kemudian diutuslah seorang malaikat meniupkan ruh ke dalamnya, dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal; rezekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau bahagia.” (Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Kairo: Darul Ghad Al-Jadid, 2008, jil. VIII, juz 16, hal. 165).

Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa di antara proses penciptaan manusia ketika masih dalam kandungan ibunya adalah bahwa pada mulanya ia berupa sperma (nuthfah) yang berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal daging (mudlghah), yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya, menjadi janin dengan bagian-bagian tubuh yang lengkap sebagaimana layaknya rupa manusia.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses terbentuknya janin di dalam rahim seorang ibu hingga sempurna membutuhkan waktu tiga kali empat puluh hari, yang itu berarti sama dengan seratus dua puluh hari, dan dalam hitungan bulan sama dengan empat bulan lamanya.

Menurut hadits di atas, setelah kurun waktu empat bulan itu, barulah Allah memerintahkan malaikat untuk melakukan dua hal, pertama meniupkan ruh ke dalam janin tersebut. Dengan ditiupnya ruh, maka janin yang pada mulanya seonggok daging kini jadi hidup, bernyawa. Ia tak lagi sekadar makhluk mati tak ubahnya tembikar yang terbuat dari tanah liat, tapi telah menjadi makhluk hidup.

Kedua, malaikat tersebut diperintah untuk mencatat empat perkara yang berkaitan dengan rezeki, ajal, amal, dan bahagia atau celakanya si janin ketika ia hidup, dan mengakhiri hidupnya di dunia kelak.

Pada fase yang demikian, berdasarkan hadits di atas, para ulama Nusantara mengajari kita sebagai umatnya untuk memanjatkan doa kepada Allah agar janin yang ada di kandungan diberi ruh yang baik, dan juga rupa tubuh yang sempurna, tak kurang suatu apa sebagaimana layaknya tubuh manusia normal umumnya.

Juga memohon kepada Allah agar sang janin diberi takdir yang baik pula. Diberi umur yang panjang penuh berkah dan manfaat, rezeki yang melimpah penuh keberkahan, ahli melakukan amalan-amalan saleh, dan digariskan sebagai hamba yang berbahagia ketika hidup di dunia, dan kelak meninggalkan dunia sebagai orang yang selamat dengan membawa keimanan kepada Allah Ta’ala.

Untuk memanjatkan permohonan-permohonan baik bagi sang janin, para ulama negeri ini juga menganjurkan untuk meminta bantuan para tetangga dan sanak saudara untuk ikut serta mendoakannya. Maka diundanglah mereka ke rumah pada waktu yang ditentukan, guna bersama-sama berdoa kepada Allah.

Acara selamatan atau kenduri—di Jawa khususnya—kemudian dikenal dengan nama mapati atau empat bulanan, karena diadakan ketika kandungan telah mencapai usia empat bulan.

Bagaimana dengan acara selamatan tujuh bulan atau mitoni?

Sebagaimana mapati, acara selamatan mitoni juga diajarkan para ulama dahulu kepada umat, tidak secara asal. Acara selamatan yang telah membudaya ini diajarkan oleh mereka, setidaknya dengan berdasar pada firman Allah yang terdapat di dalam Surat Al-A’raf ayat 189:

“Dialah dzat yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Dia ciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya. Maka ketika ia telah mencampurinya, sang istri mengandung dengan kandungan yang ringan dan teruslah ia dengan kandungan ringan itu. Lalu ketika ia merasa berat kandungannya, keduanya berdoa kepada Allah Tuhannya, ‘Apabila Engkau beri kami anak yang saleh, maka pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’”

Ayat di atas bercerita tentang Nabi Adam dan Hawa sebagai pasangan suami istri. Imam Al-Baghawi, dalam kitab tafsirnya, menuturkan bahwa ketika masa-masa awal kandungan, ibu Hawa merasakan kandungannya sebagai sesuatu yang ringan, tidak merasa berat. Ia berdiri dan duduk sebagaimana biasanya.

Namun, ketika anak di dalam rahimnya kian membesar, ibu Hawa merasakan kandungannya makin berat, dan makin dekat masa melahirkan. Maka kemudian Nabi Adam dan istrinya berdoa memohon kepada Allah agar diberi anak yang saleh sempurna sebagaimana dirinya. (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’âlimut Tanzîl, Kairo: Darul Alamiyah, 2016, jil. II, hal. 191).

Atas dasar inilah. para ulama di negeri ini kala itu menganjurkan umat muslim untuk mendoakan jabang bayi yang ada di kandungan ibunya, yang telah memasuki masa hamil tua. Dan untuk keperluan itu, dianjurkan untuk mengumpulkan para tetangga agar ikut serta mendoakan jabang bayi, agar diberi kesempurnaan rupa, keselamatan, kesehatan, dan kemudahan ketika nanti dilahirkan pada waktunya.

Mengapa harus mengumpulkan para tetangga, bukankah orang tua si bayi bisa berdoa sendiri? 

Ya, dikumpulkannya para tetangga untuk ikut mendoakan adalah karena merasa dirinya bukan orang yang memiliki kedekatan yang baik dengan Allah, sehingga merasa perlu meminta tolong banyak orang dan seorang pemuka agama untuk ikut mendoakan bersama-sama, dengan harapan doanya lebih didengar dan dikabulkan oleh Allah. Apakah yang demikian itu tidak diperbolehkan?

Mengapa harus memberi berkat kepada para hadirin?

Berkat yang diberikan oleh tuan rumah kepada para hadirin setelah selesainya acara empat atau tujuh bulanan adalah tanda rasa terima kasih atas keikhlasan berkenan hadir dan mendoakan sang bayi. Masyarakat tak pernah meminta atau mensyaratkan diberi berkat bila diundang di acara tersebut. Itu murni kerelaan tuan rumah yang mengundang.

Bahkan, di beberapa daerah, berkat yang dibawa pulang sering kali disebut “saksi”. Saksi atas apa? Saksi bahwa orang tersebut pergi dari rumah di malam hari benar-benar memenuhi undangan selamatan, bukan untuk keperluan lain yang tak semestinya dilakukan. Dengan demikian, maka tak ada prasangka buruk pada keluarga yang menunggu di rumah.

Inilah kearifan yang dibangun oleh para ulama negeri ini. Bukan tanpa dasar mereka menciptakannya. Bukan asal mereka membudayakannya. Semuanya didasarkan pada ajaran-ajaran agama yang luhur. Hanya saja para ulama kala itu tidak banyak menyampaikan dalilnya, karena bisa jadi masih terbatasnya kemampuan pemahaman agama masyarakat pada saat itu. 

Related

Pregnancy 285175780753879575

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item