Sindrom Guillain-Barre, Penyakit Misterius yang Membingungkan Dunia Kedokteran

Sindrom Guillain-Barre, Penyakit Misterius yang Membingungkan Dunia Kedokteran

Naviri Magazine - Jangan sepelekan penyakit flu yang tampak biasa. Demikian juga jika bagian tubuh tertentu kerap merasa kebas, kesemutan, atau nyeri. Bisa jadi itu tanda-tanda awal terjadinya sindrom Guillain-Barré, yaitu saat sistem kekebalan tubuh justru menjadi jahat dan menyerang tubuh.

Sindrom Guillain-Barré atau SGB kerap juga disebut radang polineuropati demyelinasi akut (acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/AIDP). Atau dengan bahasa lain, peradangan akut yang menyebabkan rusaknya sel saraf, yang tidak jelas penyebabnya.

Penyakit itu dapat menyerang siapa saja. Belum ada yang bisa memprediksi kedatangannya, progresnya, hingga tingkat keparahannya. Pernah terjadi, dokter ahli saraf dan penyakit dalam pun meninggal karena sindrom ini.

Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl, menemukan sindrom tersebut pada tahun 1916. Mereka mendiagnosis dua tentara yang menunjukkan keabnormalan pada peningkatan produksi spinal fluid protein.

Saat ini, diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisis cairan otak. Kenaikan jumlah sel darah putih pada cairan otak mengindikasikan terjadinya infeksi. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan electrodiagnostic, yaitu dengan memeriksa normal tidaknya konduksi sel-sel saraf.

Kasus SGB terakhir terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pasien RS Islam Sultan Agung, Semarang, bernama Susanti (28), meninggal dunia karena sindrom ini. Serangan SGB yang diderita Susanti rupanya sudah parah, hingga menyerang otot paru-parunya, dan menyebabkan infeksi. Kondisinya terus menurun, dan Susanti tidak tertolong lagi.

Angka kejadian SGB tergolong kecil, 1:100.000. Di RSUP dr Kariadi (RSDK) Semarang, setiap tahun rata-rata ditemukan sekitar lima sampai tujuh kasus. Dari sejumlah pasien itu, ada yang bisa sembuh, ada yang tidak.

Tidak jelas

Spesialis saraf, Amien Husni dari RSDK Semarang, menjelaskan, hingga kini penyebab penyakit autoimun tersebut masih tidak diketahui. Demikian juga pemicunya.

Lazimnya, ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, atau bakteri, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan antigen (zat yang merusak tubuh). Pada kasus SGB, antibodi justru menjadi jahat dan menyerang sistem saraf tepi. Selaput myelin yang menyelubungi sel saraf dihancurkan (demyelinasi) sehingga sel sarafnya rusak. Kerusakan mulai dari pangkal ke tepi atau dari bawah ke atas.

Kerusakan itu menyebabkan kelumpuhan motorik, dan menimbulkan gangguan sensibilitas pada penderita. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf (radiks), dapat menyebabkan kelainan pada sumsum tulang belakang.

Pada kasus Susanti, SGB ditemukan dua minggu setelah Susanti menjalani operasi usus buntu. Setelah itu serangan mulai dari kaki Susanti yang kemudian tidak dapat digerakkan. Kelumpuhan itu pun merambat hingga ke tangan dan anggota tubuh lain. Susanti juga tidak dapat berbicara.

Pada penyakit autoimun yang lain, serangan yang terjadi serupa, tetapi pada lokasi yang berbeda. Meski demikian, mekanisme terjadinya juga tidak dapat dipahami: antibodi yang dihasilkan justru menyerang tubuh. Kasus multiple sclerosis, misalnya, demyelinasi terjadi pada saraf pusat. Adapun pada myasthenia, antibodi merusak hubungan antara saraf dan otot.

Kelumpuhan pada SGB biasanya terjadi dari bagian tubuh bawah ke atas, atau dari luar ke dalam secara bertahap. Kejadiannya pun tidak dapat diperkirakan. Pada beberapa kasus, kelumpuhan terjadi sangat cepat, dan pada kasus yang lain kejadiannya bisa lebih lambat.

Pada kasus yang parah, kerusakan selaput myelin mencapai paru-paru dan melemahkan otot-otot pernapasan. Paru-paru pun tidak dapat bekerja, dan penderita harus dibantu dengan ventilator.

Dengan kelemahan tersebut, sangat mungkin terjadi infeksi di dalam paru-paru, karena kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan berkurang. Itu yang menyebabkan kondisi penderita semakin parah.

Gejala lain yang dirasakan penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti rasa kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri. Pola persebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat.

Biasanya, kata Amien, penderita SGB sebelumnya menderita infeksi virus seperti influenza, satu atau dua minggu sebelumnya. Bisa jadi hal itu didorong oleh virus influenza, atau reaksi imun terhadap virus influenza.

Tidak terjadi infeksi

Sindrom ini, seperti penyakit autoimun yang lain, termasuk self remittance disease. Sebenarnya, penderita dapat sembuh dengan sendirinya, dalam jangka waktu sekitar enam bulan. Dengan catatan, tidak terjadi infeksi pada tubuh penderita.

”Yang menyebabkan kematian biasanya karena terjadi gagal napas, dan infeksi yang timbul. Namun, itu juga tidak dapat dipastikan,” kata Amien.

Penanganan pada penderita SGB biasanya dilakukan dengan plasma exchange, tindakan yang mirip cuci darah, dengan mengganti plasma darah menggunakan alat bernama plasmaferesis. Hal itu dapat menolong penderita untuk bertahan atau mencapai kondisi yang lebih baik. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki alat ini.

Alternatif lain adalah dengan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi selama lima hari, untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, obat ini tidak murah, bahkan tergolong sangat mahal, dan tak semua pasien mampu membeli.

Ada satu cara lagi yang dimungkinkan, yaitu dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Kortikosteroid biasanya diberikan sebagai antiradang. Walaupun dalam banyak literatur disebutkan pemberian kortikosteroid tidak dapat memberi pengaruh yang berarti, pada beberapa kasus, kata Amien, ternyata dapat membantu.

Harga kortikosteroid pun jauh lebih murah dari pada immunoglobulin. Dengan demikian, pasien yang tidak mampu biasanya diberi terapi ini, dan pada beberapa kasus ternyata berhasil.

Bagi mereka yang berhasil sembuh, SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh. Sebab, sel saraf merupakan jaringan yang paling ”bodoh”, sehingga ketika rusak tidak bisa lagi kembali normal dengan sendirinya.

Penderita yang pulih dari SGB harus menjalani terapi dan latihan secara teratur untuk dapat menggerakkan kembali anggota tubuhnya, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis. Setelah satu tahun atau lebih, 85 persen penderita bisa kembali normal.

Penyakit yang bisa sedemikian jahat ini pun tidak dapat dicegah. Akan tetapi, Amien mengatakan, jika dapat terdeteksi sedini mungkin dan mendapat penanganan lebih cepat, kemungkinan sembuhnya bisa lebih besar.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dan cermati setiap gejala yang muncul. Sebab, sindrom ini termasuk dalam acute inflammatory, terjadi secara mendadak, dan meradang dalam waktu yang sangat cepat.

Related

Science 9033208940890105445

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item