Dua Warga Aceh Menembak Orangutan dengan 74 Peluru, Hanya Dihukum Azan di Masjid
https://www.naviri.org/2020/01/dua-warga-aceh-menembak-orangutan.html
Naviri Magazine - Dua remaja asal Aceh, yang menjadi pelaku penembakan orangutan betina bernama Hope, dengan 74 peluru beberapa waktu lalu, dikenai sanksi yang relatif ringan. Kedua remaja yang masih berusia 16 dan 17 tahun itu dikenai sanksi sosial berupa kewajiban mengumandangkan azan Maghrib dan Isya, selama satu bulan.
Terkait lokasi, mereka harus membawakan panggilan shalat saat hari sudah petang dan menjelang malam, di masjid atau mushala desa tempat mereka tinggal, yakni Desa Bunga Tanjung, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.
Sebagaimana diberitakan ABC, sanksi itu diterapkan kepada dua pelajar SMP itu, dengan alasan masih di bawah umur, sehingga tidak bisa ditindak secara pidana.
Bukan mendapat dukungan, pemberian sanksi sosial jenis ini justru mendatangkan banyak kecaman, karena dinilai tidak mendatangkan efek jera. Apalagi dengan melihat kondisi Hope yang saat ini mengalami kebutaan permanen, akibat puluhan senapan angin yang bersarang di hampir sekujur tubuhnya.
Direktur Center for Orangutan Protection (COP), Ramadhani, begitu menyayangkan mengapa kasus ini dibawa ke jalur hukum, malah kedua pelaku dikembalikan ke orangtua.
“Memang kedua pelaku masih anak-anak. Saya paham ada UU Perlindungan Anak, tapi tindakan yang mereka lakukan di atas kewajaran anak di bawah umur," kata Ramadhani.
"Karena mereka cukup berani mengambil anak orangutan dari induknya, kemudian menembaki induknya dengan setidaknya 74 peluru senapan angin, lalu mereka juga melanggar aturan penggunaan senapan angin," lanjutnya.
Hope, satu individu induk orangutan, menjalani perawatan intensif di pusat karantina Orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara, dalam kondisi kritis karena terluka dan ditembaki dengan senapan angin di kawasan perkebunan warga di Kota Subulussalam, Aceh. Sedangkan anaknya, berusia 1 bulan, tewas saat dalam perjalanan menuju karantina, karena kondisi malnutrisi.
Ramadhani menyebut, masih ada jalur hukum yang dapat ditempuh dengan menyesuaikan usia kedua pelaku. "Jadi, demi ada efek jera, seharusnya mereka berdua tetap diadili dan dijerat UU No 5 Tahun 1990, baru sanksi hukumnya nanti disesuaikan dengan usia mereka," ucap Ramadhani.
"Kalau hanya dikembalikan ke orangtua seperti ini, seolah-olah UU Konservasi SDA itu tidak ada," ungkapnya.
Ia menyebut, penanganan kasus ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus perlindungan satwa langka, termasuk orangutan.
Induk orangutan itu diberondong 74 peluru pada pertengahan Maret 2019, dan melukai kaki, tangan, mata, dan jari tangannya. Hope kemudian ditangani oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Kondisinya sempat kritis akibat banyaknya peluru senapan angin tersebut.