John Bolton, Sosok di Balik Presiden AS yang Bisa Memicu Perang Dunia III

 John Bolton, Sosok di Balik Presiden AS yang Bisa Memicu Perang Dunia III

Naviri Magazine - John Robert Bolton lahir di Baltimore, Maryland, tanggal 20 November 1948. Pengusung neokonservatisme ini mengawali karier di Washington sejak lulus dari sekolah hukum Yale pada 1974. Kendaraannya adalah organisasi sayap kanan American Enterprise Institute. Upayanya tak sia-sia. Ia sempat jadi wakil presiden lembaga berpengaruh tersebut.

Nama Bolton melesat kala pemerintahan George W. Bush menunjuknya sebagai wakil menteri luar negeri untuk pengendalian senjata, pada tahun 2001. Ia diberi tugas untuk fokus pada bidang senjata pemusnah massal. Posisinya amat penting, sebab di era itu Bush sedang bersiap menginvasi Irak dengan dalih kepemilikan senjata nuklir, kimia, dan biologis, oleh Saddam Hussein.

Dalam catatan Vox, Bolton yakin betul jika Saddam memang menyimpan senjata rahasia berbahaya. Di sisi lain, departemen-departemen intelijen di Gedung Putih berbeda sikap. Beberapa menolak tuduhan Bolton. Namun Bush lebih mendengarkan Bolton, dan invasi yang terbukti membawa bencana bagi jutaan warga sipil itu akhirnya benar-benar terjadi.

Pegiat National Security Archive di The George Washington University, John Pardos, pernah mempelajari dokumen administrasi Bush yang dirilis ke publik. Kesimpulannya: Bolton memang turut bersalah karena mempolitisir data intelijen untuk menjustifikasi serangan militer AS ke Irak, yang dilanjutkan dengan pendudukan selama bertahun-tahun.

“Analis intelijen yang bekerja mengawasi Irak tidak dapat disalahkan dengan berkesimpulan bahwa karier mereka bisa berada dalam posisi yang berbahaya jika memberikan jawaban-jawaban selain dari apa yang ingin didengar oleh pemerintahan Bush,” katanya.

Kebencian Bolton pada musuh klasik AS, Kuba, juga sempat membuat pria yang pernah aktif di militer itu memproduksi hoaks. Pada tahun 2002, stafnya menyiapkan pidato berisi tuduhan bahwa Kuba memiliki program senjata biologis aktif. Departemen Luar Negeri AS tidak menghiraukan klaim Bolton, dan analis lembaga tersebut menyatakan bahwa tuduhan Bolton tidak benar.

Bolton yang berang kemudian memanggil analis tersebut ke kantornya untuk dimaki-maki, dan dan diusir untuk kembali menghadap bosnya. Sejak insiden ini, orang-orang di Gedung Putih semakin memahami sikap asli Bolton: susah diajak kerja sama, menempatkan ideologi pribadi di atas kepentingan negara.

Alih-alih kena masalah, Bolton justru diangkat sebagai duta besar AS untuk PBB pada Maret 2005. Senat AS pernah mengundang Bolton untuk membahas kontribusinya dalam memulai perang Irak. Pertemuan itu berakhir tegang. Lagi-lagi para penghuni Gedung Putih menyesalkan sikap Bolton. Salah seorang politisi konservatif, Carl Ford, mendesak Bolton untuk tak mengisi posisi elite di Gedung Putih.

Irak porak-poranda usai perang dan kestabilan kawasan Timur Tengah goncang sebab kemudian lahir kelompok-kelompok milisi pemberontak seperti ISIS. Nyawa yang melayang sia-sia muncul lebih banyak lagi, sementara teror sektarian mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia sejak beberapa tahun lalu.

Apakah Bolton menyesal? Tidak. Dalam wawancara bersama Washington Examiner tahun 2015, ia menyatakan keputusannya mendukung invasi AS sudah tepat. Bolton meyakini kejatuhan Saddam adalah hasil yang baik. Temuan pasca-invasi bahwa senjata pemusnah massal yang menjadi dalih invasi tidak pernah ditemukan, tak mengubah pendirian Bolton.

Bolton adalah sosok yang paling mungkin membuat Trump memulai Perang Dunia III. Hal ini terlihat dari sikap Bolton terhadap Korea Utara. Ia benci diplomasi dengan King Jong-Un. AS dan Korut sebenarnya sedang mengalami pendinginan tensi. Namun kehadiran Bolton membuat kemungkinan kondisi tersebut tak akan bertahan lama, dan bahkan bisa makin parah.

Satu-satunya jalan untuk mengakhiri perseteruan dengan Korea Utara, menurut Bolton, adalah dengan serangan militer. Pada 2018, melalui kanal opini Wall Street Journal, ia mengungkapkan argumen mengapa invasi ke Korut punya dasar yang sah. Ia mengkritik pendapat orang-orang yang menilai aksi tersebut tidak dibenarkan karena Pyongyang bukan “ancaman yang akan segera jadi kenyataan”.

“Mereka salah. Ancaman itu benar-benar akan terjadi, dan pencegahan yang dulu itu berdasarkan salah tafsir terkait masa pra-nuklir dan pra-rudal balistik. Mengingat hal-hal yang tak diketahui intelijen AS tentang Korut, kita tidak boleh menunggu hingga di detik-detik terakhir. Lebih berisiko lagi jika kita menyerang saat Korut memiliki senjata yang siap untuk memukul. Situasinya akan jauh lebih berbahaya.”

“Sangat sah bagi Amerika Serikat untuk menanggapi 'kebutuhan' yang saat ini ada, dengan adanya senjata nuklir Korea Utara, yakni dengan menyerang terlebih dulu,” tulisnya.

Sikap Bolton terhadap Iran pun sama. Dalam opini yang dimuat New York Times tiga tahun lalu, ia mendukung penuh serangan militer AS dan/atau Israel ke fasilitas nuklir Teheran.

Dengan judul “Untuk Menghentikan Bom Iran, Kita Harus Bom Iran”, Bolton berkesimpulan bahwa Iran tidak akan merundingkan program nuklirnya, dan negeri para mullah itu juga takkan mencegah pembangunan infrastruktur senjata besar-besaran.

Merujuk Politico, Bolton mendukung intervensi militer dan pergantian rezim di Suriah dan Libya. Mengutip Foxnews, Bolton turut mendorong Yordania agar menganeksasi Tepi Barat, wilayah yang masih diokupasi Israel meski dihuni mayoritas warga sipil Palestina. Ia seakan terobsesi dengan kehadiran tentara AS di tiap wilayah di Timur Tengah—tak peduli apa pun efek sampingnya.

Related

World's Fact 5823619095158418253

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item